REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dewan Pertahanan Nasional (Wantanas) menilai penerbitan surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73 tentang kewenangan ketua pengadilan tinggi untuk menyumpah advokat termasuk pelanggaran prosedur.
“Surat Ketua MA kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi untuk menyumpah advokat tanpa memandang organisasi yang diberikan amanat UU Advokat tentu itu tidak legitimate. Apalagi surat tersebut telah menimbulkan kegaduhan di dunia advokat,” tegas anggota Wantanas Jawahir Thontowi, Jumat (16/10).
Titik pelanggaran Ketua MA Hatta Ali, menurut Jawahir, adalah tidak memanggil organisasi terkait, yaitu Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Surat tersebut, tambahnya, justru menjatuhkan wibawa lembaga tertinggi peradilan di Indonesia karena tidak mempertimbangkan unsur-unsur hukum formal dan materiil yang berlaku.
“Surat MA ini secara faktual telah menimbulkan suatu keadaan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi, yaitu kegaduhan di kalangan advokat dan jika terus dibiarkan maka bisa menjatuhkan kewibawaannya sebagai pemutus keadilan tertinggi di Indonesia,” tambahnya.
Sementara Ketua Umum DPN Peradi Fauzie Yusuf Hasibuan menegaskan bahwa Ketua MA telah melanggar UU Nomor 18 Tahun 2003 pasal 2 dan 3 tentang pengambilan sumpah, yaitu advokat yang bisa disumpah merupakan advokat yang diusulkan oleh Peradi.
“Dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang Advokat disebutkan bahwa pelaksanaan sumpah hanya bisa dilakukan jika advokat tersebut diusulkan oleh Peradi hingga ada UU advokat yang baru. Hal itu tidak dapat ditafsirkan lain,” tegas Fauzie.
Fauzie mensinyalir bahwa para pemegang kewenangan di Indonesia khawatir dengan kekuasaan yang besar di tangan Peradi bisa menjadi alat untuk menekan dan melakukan kontrol langsung terhadap mereka.
“Secara sipil, hal tersebut memang kerjaan Peradi. Seharusnya Ketua MA memanggil Peradi sebelum memutuskan surat tersebut,” tambah Fauzie.