REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kementerian Pertahanan dan Kemanan RI berencana meluncurkan program bela negara pada 19 Oktober 2015 mendatang. Nantinya akan dibentuk 4.500 kader pembina bela negara di 45 kabupaten/kota se-Indonesia. Dalam 10 tahun ditargetkan ada 100 juta rakyat yang mengikuti program ini.
Sosiolog UGM Muhammad Najib Asca menilai pemerintah terlalu terburu-buru meluncurkan program bela negara ini. Menurutnya, sebelum diimplementasikan, pemerintah semestinya menyiapkan payung hukum program tersebut berupa undang-undang.
“Program ini belum disusun dengan cermat dan komperehensif. Seharusnya dilengkapi dulu dengan perangkat hukum sebagai pilarnya agar memudahkan dalam pelaksanaannya ,” katanya kemarin.
Selain itu, Najib menekankan perlunya pemerintah memberikan penjelasan kepada publik terkait arah kewajiban dari program bela negara. Dengan demikian diharapkan tidak ada salah persepsi terhadap program ini.
“Selama ini timbul resistensi pada program ini. Karena pemerintah tidak membuka dialog dengan masyarakat sipil. Tidak sedikit yang mengira bela negara ini sama dengan wajib militer,” katanya.
Program bela negara merupakan hal telah banyak dilakukan oleh sejumlah negara di dunia. Namun akibat proses penyusunan program yang tidak lengkap dan tidak melibatkan masyarakat sipil, pencanangan program justru menimbulkan kesalahpahaman.
“Semestinya penyusunan program dilakukan secara partisipatif dan inklusif melibatkan kalangan sipil. Dengan begitu ada kesepahaman terkait arah program ini,” kata dia.