Oleh: Peter Tase, Jurnalis Senior Amerika
REPUBLIKA.CO.ID,TIRANA -- Pasang surut Kehidupan beragama yang harmonis di Albania saat ini pernah mengalami pasang surut, bahkan terpuruk, ketika negara seluas seluas 28,748 km persegi ini dipimpin oleh Enver Hoxha yang beraliran Stanilis, pasca-Perang Dunia II. Kediktatoran Hoxha merupakan tahun-tahun paling gelap dalam sejarah negeri mungil ini.
Hoxha segera melembagakan perubahan yang sangat dratis setelah mengambil tampuk pimpinan Front Demokratik pada tahun 1945. Banyak dari para ulama dan pengikut agama disiksa dan dieksekusi. Pada 1946, semua pendeta Katolik Roma yang berasal dari luar Albania diusir.
Tentu saja ini merupakan pukulan yang melumpuhkan bagi sekolah-sekolah Katolik dan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial yang didirikan di negeri ini. Kebijakan kediktatoran Hoxha berasal dari pandangan Hoxha sendiri tentang agama. Meski terlahir dari keluarga Muslim kelas menengah, Hoxha adalah seorang yang sangat antiagama dan tujuannya membuat Albania menjadi negara ateis.
Periode antiagama dari kediktatoran Hoxha mencapai titik tertinggi dengan ter ben tuknya Konstitusi 1976. Mimpi buruk atas rezim Hoxha berakhir sudah dan ini merupakan sebuah anomali dalam kehidupan bangsa Albania. Dengan berakhirnya kediktatoran Hoxha, tradisi toleransi yang ada dalam setiap denyut nadi bangsa Albania kembali muncul sebagai faktor penting dalam kehidupan sipil dan budaya dari negara.
Albania menunjukkan bahwa kebebasan dan nilai-nilai Islam tidak hanya dapat hidup berdampingan, tetapi juga dapat berkembang bersama-sama. Pendidikan Saat ini, lembaga-lembaga keagamaan memainkan peran utama mereka dalam bidang pendidikan. Perdana Menteri Edi Rama telah memerintah sejak September 2013 dan menjadi tokoh kunci dalam kehidupan politik Albania sejak jatuhnya pemerintahan komunis.
Edi Rama telah menjadi sahabat dekat Amerika Serikat serta Asia Tenggara yang dapat diandalkan dalam hal ekonomi. Dalam percakapan saya dengan Edi Rama beberapa waktu lalu, jelas bahwa ia menjadi sensitif saat memperbincangkan tradisi rakyat Albania terhadap kebebasan beragama serta toleransi.
Departemen pendidikan di Albania menegas kan bahwa sekolah umum memegang prinsip sekularitas dan bahwa indoktrinasi ideologi serta agama di sekolah umum dilarang oleh hukum. Lebih dari 100 lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan asosiasi atau yayasan dan ada 15 sekolah agama yang berafiliasi.
Secara hukum, sekolah agama yang berafiliasi harus memiliki izin dari Kementrian Pendidikan dan kurikulum diperlukan untuk memenuhi standar pendidikan nasional. Banyak sekolah negeri berlisensi diawasi oleh kelompok Katolik dan Muslim, yang tidak punya masalah dalam mendapatkan izin untuk membangun sekolah baru. Faktor budaya toleransi yang kuat berlaku dalam sistem sekolah di Albania.