REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia sudah punya enam presiden selepas Sukarno, tetapi ruang kerja di Istana Bogor tak juga malih. Ruangan bernuansa putih cerah ini justru masih kental dengan aroma dan selera presiden pertama tersebut. Buku-buku tentang marxisme dan pemikiran Hegel mendominasi rak buku di satu sisi ruangan tersebut.
Di rak lain, rupa-rupa ensiklopedia, biografi kepresidenan AS dan tokoh-tokoh dunia, serta buku teori-teori negara menemani. Ruangan dinaungi lukisan besar Makowski tentang pernikahan Rusia yang diletakkan mendominasi tembok seberang meja kerja kepresidenan.
Sebuah meja kayu besar terletak di pojok ruangan. Meja kerja kepresidenan. Di atas meja tersaji empat buah permen tolak angin dan satu botol air mineral. Keduanya ditemani dua buku tentang mantan pemimpin Singapura Lee Kuan Yew dan satu berkas curriculum vitae milik seseorang.
Tak lama selepas azan Ashar pada Sabtu (17/10), Presiden Joko Widodo menerima Subroto, Nur Hasan Murtiaji, Stevy Maradona, Fitriyan Zamzami, Feri Kisihandi, Halimatus Sa'diyah, dan Edwin Dwi Putranto dari Republika di ruangan tersebut.
Setelah setahun berjalan, kepresidenan mulai menunjukkan dampaknya pada pria yang akrab disapa Jokowi tersebut. Jokowi mengaku dengan setengah berkelakar, raut wajahnya mengikuti pergerakan rupiah terhadap dolar. “Pas misal dolar Rp 14.800, ya mesti wajah saya beda. Nanti kalau udah di bawah Rp 13 ribu, wajahnya cerah,” kata Jokowi lalu tertawa.
Mantan wali kota Solo ini juga menuturkan, ia kian jarang mendengar musik metal kegemarannya. Padahal, dulu di Solo ia pencetus acara Rock in Solo. Konser grup rock asal Amerika Serikat, Bon Jovi, di Jakarta beberapa waktu lalu pun ia lewatkan. Demikian juga undangan menghadiri konser grup band lokal Slank.
“Nanti kalau ekonomi sudah baik (menonton konser lagi). Masa ekonomi kaya begini saya nonton,” ujar Jokowi. Begitupun, ia menegaskan tetap menjaga optimisme. Bagaimana soal perjalanannya setahun menjadi presiden, berikut petikan wawancaranya: