REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina, Jakarta, Hendri Satrio, berpendapat bahwa perombakan kabinet atau reshuffle jilid kedua bisa menjadi jawaban atas ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo.
"Dalam survei yang kami lakukan menunjukan adanya ketidakpuasan publik terhadap pemerintah. Apabila melihat faktor yang menyebabkan ketidakpuasan itu kelihatannya Presiden Jokowi akan mengambil langkah 'reshuffle' jilid dua," ujarnya di Jakarta, Selasa (20/10).
Dia memaparkan bahwa saat ini masyarakat sedang menyoroti kinerja sejumlah menteri di dalam Kabinet Kerja yang memiliki kaitan dengan persoalan harga bahan pokok, nilai tukar rupiah, kabut aspa, dan energi.
Melalui survei yang dilakukannya bersama dengan Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) diketahui bahwa sebagian besar masyarakat tidak puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
"Dari survei yang telah kami lakukan sebanyak 54,7 persen masyarakat tidak puas terhadap kinerja Jokowi-JK," ujar Hendri.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa sebagian besar responden merasa tidak puas pada tiga hal, antara lain harga kebutuhan pokok yang tinggi (35,5 persen), pelemahan nilai tukar rupiah (23,7 persen), dan lambannya penanganan kabut asap (11,8 persen).
"Sisanya publik merasa tidak puas karena harga BBM yang mahal, susahnya lapangan kerja, kinerja menteri yang tidak bagus, biaya kesehatan yang tidak terjangkau, dan sebagainya," ujarnya memaparkan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Djayadi Hanan menilai perombakan atau reshuffle kabinet harus dilakukan Presiden Jokowi sebelum akhir tahun, agar tidak mengganggu akselerasi ekonomi nasional.
Terkait kementerian mana saja yang dipandang kurang memuaskan kinerjanya saat ini, Hanan mengatakan Presiden bisa menilai dari masalah utama yang dihadapi bangsa saat ini.