REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Zuly Qodir menilai akhir-akhir ini wilayah Malang raya menjadi kota yang 'eksotik' bagi gerakan radikal yang dibuktikan dengan sejumlah temuan oleh Densus 88 maupun para peneliti asing. "Wilayah Malang raya bisa saja menjadi basis gerakan radikal seperti kota Solo. Bahkan, saat ini banyak kegiatan keagamaan Islam yang di belakangnya ada kepentingan-kepentingan politik dari pihak tertentu," kata Zuly di Malang, Jawa Timur, Rabu (21/10).
Fakta-fakta tersebut ditulis dalam buku Zuly yang berjudul 'Gerakan Islam Nonmainstream di Indonesia'. Dalam buku yang ditulis melalui penelitian di Solo itu disebutkan kelompok gerakan nonmainstream di Solo dan fenomena Islam politik pada pemilu 2014.
Yang paling disayangkan, kata Zuly, kelompok nonmainstream ini tidak belajar Islam dari ahlinya, yaitu para dosen atau ulama. Mereka belajar Islam justru dari Google dan mereka juga suka menghujat kelompok lain yang justru belajar Islam dari sumber yang lebih otentik dan ilmiah.
Ia mengemukakan banyak sekali gerakan-gerakan Islam nonmainstream di Indonesia yang anggotanya sedikit, namun bersuara keras. Mereka memanfaatkan media yang mereka ciptakan sendiri.
Gerakan-gerakan tersebut, tak hanya kuat bertahan di antara gerakan Islam mainstream, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, namun kadangkala juga menganggap kelompoknya yang paling benar dan bermanfaat.
Senada dengan Zuly, Kepala PSIF UMM Pradana Boy mengatakan Malang telah menjadi daerah yang potensial bagi kelompok-kelompok Islam yang tidak toleran. Hal itu, kata Pradana Boy, dapat dilihat dari ditemukannya aktor intelektual Bom Bali Azahari bin Husin pada 2005 di Kota Batu serta tertangkapnya tiga terduga anggota ISIS di Malang baru-baru ini. "Sekarang ini banyak kelompok Islam yang merasa berhak menjadi juru bicara agama, merasa bahwa pendapatnya yang paling benar," ujarnya.
Cara-cara seperti itu, kata Pradana Boy, itu adalah bentuk lain dari radikalisme, yakni memaksakan pendapatnya sendiri. "Perbedaan tafsir dan cara pandang adalah sesuatu yang tak bisa dihindarkan, karena kita hidup dengan jarak lebih dari 1.400 tahun dari era Nabi Muhammad," ujarnya.
Ia mengemukakan untuk meminimalisasi perbendaan pendapat tesrebut, setiap bulan PSIF UMM rutin mengadakan kajian Islam dengan ragam jenis acara mulai dari seminar, bedah buku, hingga bedah hasil penelitian. "Hal ini karena wacana Islam nonmainstream belum banyak diperbincangkan dalam ruang akademik, padahal literasi dan moderasi pemahaman keagamaan merupakan hal yang mutlak diperlukan agar tidak terjebak dalam absolutisme dalam beragama," ucapnya.