REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Sistem irigasi tradisional Bali atau subak yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia menjadi salah satu model pengembangan pariwisata berkelanjutan di kawasan Asia Tenggara.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan menjelaskan bahwa pengelolaan lansekap budaya Provinsi Bali itu harus dilakukan secara terintegrasi dan menyeluruh serta lintas sektoral yang melibatkan kementerian terkait.
"Tidak hanya kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetapi juga Kementerian Pariwisata. Ini juga harus melibatkan pemerintah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten," katanya di Denpasar, Bali, Rabu (21/10).
Selain Subak, situs warisan budaya dunia lain yang menjadi model pengembangan pariwisata berkelanjutan di antaranya Melaka dan George Town, kota sejarah di Selat Malaka dan sawah berundak di Cordilleraas, Filipina.
Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta menyatakan bahwa pihaknya dihadapkan pada tantangan dalam mempertahankan warisan budaya dunia (Subak) dalam menjaga keberlangsungan subak dari kawasan hulu dan hilir. Menurut dia, pada kawasan hulu diperlukan tindakan untuk melestarikan sumber air dan pada kawasan hilir, diperlukan kebijakan untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian menjadi peruntukan lain.
"Mempertahankan konsep pertanian tradisional serta diperlukan insentif bagi petani yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani dan meningkatkan nilai tambah produk pertanian," katanya.
Subak sebelumnya telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh badan dunia PBB yang membidangi pedidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan atau UNESCO pada 2012.
Situs itu terdiri dari lima terasering persawahan dan juga tempat suci atau pura subak yang meliputi wilayah seluas 19.500 hektare di lima kabupaten di Bali.
Subak mencerminkan konsep filosofi Tri Hita Karana yang meliputi keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan manusia dengan alam.