REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA -- Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini, Selasa (20/10), menyeru penghormatan yang lebih besar pada hak asasi manusia di Eritrea, negara sumber utama pengungsi yang mempertaruhkan hidup mereka mencoba untuk menyeberangi Mediterania untuk mencapai Eropa.
Badan pengungsi Perserikatan Bangsa Bangsa UNHCR mengatakan 5.000 orang melarikan diri dari negara miskin di Laut Merah itu setiap bulan, dan orang-orang yang berhasil sampai di Eropa sering mengatakan mereka melarikan diri dari wajib militer terbatas dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
Para pejabat di Asmara menyangkal tuduhan itu dan mengatakan perdagangan manusia, dan bukannya pelanggaran hak asasi, yang harus disalahkan untuk eksodus besar orang dari negeri di Tanduk Afrika itu.
"Di Eritrea ada kebutuhan yang relevan untuk reformasi penting di dalam negeri, untuk meningkatkan pada satu sisi catatan hak asasi manusia dan di sisi lain kondisi kehidupan penduduk," kata diplomat top Brussels itu kepada wartawan saat berkunjung ke Addis Ababa, ibu kota Ethiopia, negara tetangga Eritrea.
Dihadapkan pada arus masuk terbesar imigran sejak Perang Dunia II, 28 negara Uni Eropa telah membahas selama berbulan-bulan bagaimana mengurangi angka kedatangan dari Afrika, Timur Tengah dan Asia, yang sering melalui penyeberangan berbahaya di Laut Mediterania.
Para pejabat Uni Eropa mengumumkan pada September blok tersebut memiliki target untuk menyetujui 200 juta euro (226, 72 juta dolar) dalam bentuk bantuan pembangunan untuk Eritrea pada akhir tahun untuk membantu membendung eksodus imigran. Eritrea menerima dana Uni Eropa sampai 2011 ketika Asmara memutuskan untuk menghentikan program bantuan luar negeri.