REPUBLIKA.CO.ID, ACEH SINGKIL -- Insiden pembakaran oleh massa terhadap gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil, pada 13 Oktober lalu diduga mengundang spekulasi publik, khususnya yang berdomisili di luar Nangroe Aceh Darussalam (NAD).
Apalagi, masih satu rangkaian dengan insiden tersebut, di tanggal yang sama terjadi penembakan terhadap seorang warga Muslim, yang merupakan salah satu anggota massa. Peluru yang menembus kepala Syamsul bin Idal (25 tahun) diduga berasal dari arah Dusun Dangguran, Kecamatan Simpang Kanan, Aceh Singkil.
Namun, menurut penuturan Kepala Desa Suka Makmur Juli Sedarma Berutu kepada Republika.co.id, Rabu (21/10), segera setelah massa meninggalkan bangunan gereja yang dibakar, situasi berangsur kondusif selang beberapa jam kemudian pada siang hari itu (13/10).
Juli menegaskan, tidak ada warganya yang mengungsi keluar dari Desa Suka Makmur. Para warga, khususnya perempuan dan anak-anak, hanya bersembunyi sementara ke ladang perkebunan sawit atau ke rumah-rumah yang jauh dari gereja HKI.
Bahkan, Juli menekankan, ketika kejadian berlangsung, semua warga Muslim maupun non-Muslim saling melindungi. Apalagi diakuinya, massa memang tak menarget selain bangunan gereja HKI.
Sehingga, dia memastikan, tidak ada benturan fisik antara warga Muslim dan non-Muslim, baik di Desa Suka Makmur maupun di seluruh Kabupaten Aceh Singkil pada 13 Oktober lalu, terkecuali insiden penembakan di Dusun Dangguran.
Tidak ada yang terprovokasi terkait pembakaran gereja itu karena, lanjut Juli, kesadaran hukum formal masyarakatnya, juga masyarakat Kabupaten Aceh Singkil pada umumnya cukup tinggi.
"Makanya di sini, orang per orang, face to face (konflik), enggak ada. Buktinya, kejadian di sini saja, tidak ada orang yang mengusir. Makanya menghindar dari rumah ke rumah saja. Misalnya, kumpul di satu tempat," ucap Juli.
Adapun basis massa sebelum bergerak ke Desa Suka Makmur pada hari itu, yakni di sekitar tugu di Lipat Kajang, Kecamatan Simpang Kanan. Namun, Juli menjelaskan, orang-orang Lipat Kajang pun tidak bersikap memusuhi sama sekali terhadap orang Desa Suka Makmur.
"Di basis orang-orang (massa) berkumpul waktu lalu, saya ke situ juga enggak ada apa-apa. Saya semalam di situ. Tidak ada apa-apa. Bagus-bagus saja. Orang-orang tegur sapa saya. Ada yang menyalami," kata keucik (sebutan lokal untuk jabatan kepala desa) yang beragama Nasrani itu.
Lantaran itu, dia mencoba mengklarifikasi insiden 13 Oktober di Aceh Singkil. Sebab, lanjut dia, karakteristik masyarakat Aceh Singkil sangat toleran.