REPUBLIKA.CO.ID, Film sebagai karya seni, sering diartikan hasil cipta karya seni yang memiliki kelengkapan dari beberapa unsur seni. Tujuannya, untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya spiritual. Dalam hal ini, unsur seni yang terdapat dan menunjang sebuah karya fim adalah seni rupa, seni fotografi, seni arsitektur, seni tari, seni puisi sastra, seni teater, seni musik. Selain itu, ditambah lagi dengan seni pantomin dan novel.
“Kesemuannya merupakan pemahaman dari sebuah karya film yang terpadu dan biasa kita lihat,” kata Kadisparbud Provinsi Jabar Nunung Sobari, dalam kegiatan peningkatan komptensi SDM dalam penulisan skenario film, di Sangkanhurip, Kabupaten Kuningan, kemarin.
.
Dikatakan Nunung, film pertama kali diciptakan pada 1805 oleh Lumiere Brothers. Kemudian pada 1899 George Melies mulai menampilkan film dengan gaya editing yang berjudul ‘Trip To The Moon’. Bahkan, pada 1902, Edwin Peter membuat film yang berjudul ‘Life Of In American Fireman’.
Sedangkan di Indonesia, bioskop pertama kali muncul di Batavia (Jakarta), tepatnya di Tanah Abang Kebonjae, pada 5 Desember 1900. Namun, kehadiran bioskop ini tidak dapat dikatakan sebagai tonggak awal sejarah film Indonesia. Alasannya, film-filmnya saat itu masih impor dari luar negeri.
“Film cerita pertama yang diproduksi di Indonesia, tepatnya di Bandung. Baru ada pada 1926,” kata Nunung. Film ini berjudul ‘Loetoeng Kasaroeng’. Film ini bisa dikatakan sebagai acuan tonggak sejarah perfilman Indonesia. Kesuksesan produksi film tersebut tidak terlepas dari keterlibatan bupati Bandung Wiranatakusumah V di dalamnya.
Dikatakan Nunung, diIndonesia film mencapai kejayaannya pada era 70-an sampai 80-an atau tepatnya sebelum masuknya Broadcast-Broadcast TV pada 1988 (RCTI). Kata dia, masyarakat sangat apresiatif dalam menanggapi film-film yang ada di Indonesia.
“Hal itu, berkaitan dengan bobot dari film tersebut yang memang dapat memenuhi kebutuhan psikologi dan spiritual dari masyarakat Indonesia,” katanya.
Menurut Nunung, film merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses pembuatan film antara lain produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera (kameramen), penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang film).
Namun, skenario film (naskah cerita film) yang ditulis dengan berpegang pada standar atau aturan-aturan tertentu, akan sangat menuntukan kualitas film yang dihasilkan. Apalagi, skenario atau naskah cerita film itu ditulis dengan tekanan yang lebih mengutamakan visualisasi dari sebuah situasi atau peristiwa melalui adegan demi adegan yang jelas pengungkapannya.
Jadi, kata Nunung, keberadaan penulis skenario film ini menjadi sangat penting. Karena, naskah yang ditulis penulis skenario itulah yang kemudian digarap atau diwujudkan sutradara menjadi sebuah karya film.
“Betapa bangganya kita hidup di Tatar Sunda ini. Karena, awal dari pembuatan film indonesia adanya di Bandung,” katanya.
Namun demikian, ungkap Nunung, dengan adanya era modern sekarang ini, perfilman di Bandung sudah mulai memudar, kalah dengan Jakarta. “Oleh karena itu, kita sebenarnya mengemban amanah dari pendahulu kita untuk mengembangkan perfilman yang ada di Tatar Sunda ini,” katanya.
Karena itu juga, Disparbud Jabar senantiasa menyelenggarakan beberapa program kegiatan yang berkaitan dengan revitalisasi, aktivasi serta pewarisan perfilman yang pernah berjaya di tanah Sunda ini. Sehingga diharapkan, kata Nunung, dari program ini tentang penulisan skenario film bisa meningkat, yang pada gilrannya dapat memperkokoh ketahanan budaya serta meningkatkan ekonomi para pelaku dan masyarakat sekitarnya.
Kepala Balai Pengembangan Kemitraan, SDM Kepariwisataan Dan Kebudayaan, Rusyandi
Mengatakan, kegiatan ini untuk lebih mengefektifkan peran insan perfilman di Jabar sebagai salah satu potensi dalam melestarikan perflman di tataran Sunda khususnya, sekaligus sebagai sentral pewarisan budaya Sunda.