REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jamak terdegar, kaum santri, kerap disebut `kaum sarungan'. Mengapa demikian? Penyebutan ini merujuk pada kebiasaan para santri dalam kesehariannya suka memakai kain sarung.
Menurut catatan sejarah, sarung berasal dari Yaman. Ensiklopedia Britanica menyebutkan, sarung telah menjadi pakaian tradisonal masyarakat di sana. Di negeri itu, sarung biasa disebut futah. Sarung juga dikenal dengan nama izaar, wazaar, atau ma'awis. Sementara, masyarakat di Oman menyebut sarung dengan nama wizaar.
Penggunaan sarung telah meluas, tidak hanya di Semenanjung Arab, tetapi juga Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika. Konon, sarung pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-14 dibawa oleh para saudagar Arab, Yaman, dan Gujarat.
Dalam perkembangan berikutnya, sarung di Indonesia telah menjadi identitas tak terpisahkan dengan kaum santri. Hampir di semua pondok pesantren tradisional, para santri menggunakan sarung dalam keseharian.
Kendati begitu, sarung di dunia Arab bukan pakaian resmi yang biasa digunakan untuk shalat, ke pasar, atau menghadiri acara-acara di luar rumah. Di Mesir, sarung hanya pantas dipakai di kamar tidur.
Pada masa kolonialisme, sarung berubah menjadi simbol perlawanan. Sebuah simbol untuk melawan kemapanan jas, dasi, dan celana panjang yang diperkenalkan oleh penjajah. Sikap itu terbawa sampai masa kemerdekaan dan menjadi identitas kaum santri. Sampai-sampai, dalam sebuah kisah yang telah beredar luas diceritakan, KH Abdul Wahab Chasbullah datang memakai sarung, alih-alih celana panjang dan jas, ketika memenuhi undangan Presiden Sukarno ke Istana Negara.