REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, mengakui, ada kesalahan data intelijen yang diterima pemerintah Inggris saat memutuskan bergabung dengan Koalisi yang dipimpin Amerika Serikat untuk menyerang Irak pada 2003 silam.
Namun, Blair tidak menyesal, Inggris terlibat dalam upaya menjatuhkan rezim Saddam Husein di Irak.Pada 2003 silam, Amerika Serikat bersama sekutunya, termasuk Inggris, melancarkan serangan ke Irak.
Pasalnya, Irak diklaim menyimpan senjata pemusnah massal. Serangan militer itu pun akhirnya berhasil menjatuhkan Presiden Irak saat itu, Saddam Hussein.
Namun, hingga saat ini, senjata pemusnah massal tersebut belum berhasil ditemukan. Untuk itu, Blair pun meminta maaf atas keterlibatan Inggris dalam Perang Irak tersebut.
Menurutnya, ada kesalahan data intelijen yang diterima pihaknya terutama mengenai adanya senjata pemusnah massal yang dimiliki oleh rezim Saddam Husein.
''Saya bisa katakan, saya meminta maaf untuk fakta, data intelijen yang kami terima ternyata salah. Kendati dia (Saddam Husein) telah menggunakan senjata kimia untuk menghabisi rakyatnya, tapi program yang ada ternyata tidak sesuai dengan yang kami kira,'' kata Blair dalam wawancara ekslusif dengan CNN, Ahad (25/10).
Tidak hanya itu, mantan Perdana Menteri yang mengundurkan diri pada 2007 itu, mengungkapkan ada sejumlah kesalahan yang dilakukan pihaknya dalam merancang operasi militer.
Pun dengan apa yang terjadi di Irak pascaperang tersebut. Memang, pasca perang yang dimulai pada 2003 itu, Irak memang terus dilanda konflik.
Mulai dari kekerasang sektarian, hingga munculnya Alqaidah di sekitar wilayah Irak. Selain itu, sejak dimulai pada 2003 dan berakhir pada 2011, Perang Irak disebut telah menewaskan 10 ribu warga Irak, 4000 prajurit Amerika Serikat, dan 179 prajurit Inggris.
''Saya juga meminta untuk sejumlah kesalahan dalam perencanaan operasi dan tentu saja soal pemahaman kami mengenai apa yang terjadi setelah rezim tersebut (Saddam Husein) berhasil dijatuhkan,'' ungkap Blair.
Kendati begitu, Blair menilai, keputusan koalisi Amerika Serikat dan Inggris untuk menjatuhkan Saddam Husein sudah tepat.
''Cukup sulit bagi saya untuk menemukan alasan, kenapa saya harus meminta maaf karena menjatuhkan Saddam. Saya kira, lebih baik, dia tidak berada di sana,'' ujar Blair, yang mulai menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri Inggris pada 1997 tersebut.