REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian perusahaan sawit telah bisa memproduksi energi listrik dari cangkang sawit untuk kebutuhan swadaya perusahaan. Jika ada kelebihan produksi, energi listrik dari sawit bisa dibagi untuk kebutuhan masyarakat setempat dalam program corporate social responsibility.
Namun, pengadaan listrik untuk berkontribusi dalam pemenuhan energi listrik nasional hingga 35 ribu megawatt (mw) belum menjadi prioritas. "Itu karena daya listrik yang dihasilkan pun minim, belum ada peta konsep ataupun program nasionalnya," kata Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono dalam diskusi publik bertajuk "Benarkah Ekspansi Besar Sawit Bakar Hutan untuk Mendukung Program Listrik 35 Ribu MW?" di Jakarta, Ahad (25/10).
Di samping hanya untuk memenuhi kebutuhan listrik secara swadaya, produksi listrik dari cangkang sawit sangat minim dibandingkan kebutuhan nasional. Jika seribu pabrik sawit digabungkan, hanya akan menghasilkan listrik 1,4 mw. Jumlah tersebut jomplang dengan kebutuhan listrik nasional sebanyak 35 tibu mw.
Oleh karena itu, tudingan pembukaan lahan sawit dengan kedok untuk menyumbang energi listrik sangat keliru. Sebab pengusaha pun menyadari sumbangsih sawit untuk listrik masih minim. Saat ini produksi sawit di perkebunan lebih diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan pangan.
Eddy menerangkan, produksi listrik dari cangkang sawit dengan teknologi tertentu baru dilakukan sebagian perusahaan saja. Pemanfaatan palm oil mill efluent untuk menghasilkan tenaga listrik melalui metode methane capture memakan biaya hingga 4 juta dolar AS atau setara dengan Rp 50 miliar.