REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan Islam di Cina menumbuk jalan terjal sekitar 1780 pada masa Dinasti Qing. Kala itu terjadi konflik yang berujung pada aksi kekerasan komunal antara etnis Han dan Hui.
Konflik antara dua kelompok etnis itu bermula dari kebijakan diskriminatif Manchuria atau Dinasti Qing terhadap umat Islam. Dinasti Manchuria melarang mereka untuk membangun masjid dan menyembelih he wan. Padahal, saat itu etnis Hui telah menjadi bagian penting dari masyarakat Cina. Dari hari ke hari, konflik tersebut kian meruncing hingga akhirnya menimbulkan pertumpahan darah. Insiden pertumpahan darah terburuk terjadi antara 1862 dan 1878 di Provinsi Gunsu.
Pertumpahan darah ini sungguh mengguncangkan hati rakyat Cina, terutama umat Islam. Peristiwa tragis itu telah menyebabkan populasi Muslim di Cina yang sebelumnya berjumlah 15 juta menjadi satu juta orang saja. Dua pertiga di antaranya merupakan etnis Hui.
Pada 1912, Dinasti Qing berhasil digulingkan, namun kekerasan terhadap etnis Hui terus berlanjut hingga 1930. Sekitar 20 tahun kemudian, Pemerintah Cina pun jatuh ke tangan rezim komunis pimpinan Mao Ze dong.
Di bawah cengkeraman komunis, rezim Cina pun bersikap sewenang-wenang terhadap etnis Muslim Hui. Tak hanya tempat ibadah mereka yang dihancurkan, tapi nyawa mereka pun menjadi sasaran. Seiring berjalannya waktu, kebrutalan terhadap minoritas Islam pun mereda. Hal ini terjadi setelah Mao Zedong meninggal dunia. Sepeninggal Mao, kaum Muslimin bisa menikmati kembali hidup yang wajar dan damai.
Bahkan, karena menyadari potensi ekonomi etnis Hui, Pemerintah Cina mulai mel aku kan pendekatan dengan menawarkan oto nomi khusus. Langkah ini dilakukan sebagai cara untuk menebus kesalahan pe nguasa Cina pada masa lalu terhadap etnis Hui.
Ketua Asosiasi Islam di Beijing sekaligus Imam Masjid Niujie Ali Noor El-Huda me ngatakan, saat ini pemerintah tidak lagi menindas etnis Hui yang beragama Islam. Me reka diperbolehkan melaksanakan ibadah agamanya.
Sayangnya, hal itu tak berlaku bagi Muslim Uighur yang tinggal di wilayah Xinjiang, Cina Barat Laut. Di sana, Pemerintah Cina menindas etnis minoritas yang memeluk agama Islam itu. Mereka dilarang mengenakan jilbab, memelihara janggut, dan tak diperbolehkan pula berpuasa saat Ra madhan.