REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah pusat mengaku lamban mengawali penanganan kebakaran hutan dan kabut asap.
Kendala utama keterlambatan, yakni prosedur pemberian bantuan harus didahului penetapan status bencana oleh pemerintah daerah setempat. Oleh karena itu, pemerintah tengah menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur soal tata cara penetapan status kebencanaan.
"Tadi pagi rapat dengan kementerian dan lembaga untuk menyusun draf Perpres, target agar bisa rampung dalam sebulan ini," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei dalam rapat dengan komisi II DPD RI dan jajarwn pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Senin (26/10).
Kesan keterlambatan, lanjut dia, sebab pusat tidak bisa serta merta bertindak memberi bantuan begitu terjadi suatu bencana. Sebab terlebih dahulu harus ditetapkan status kebencanaan oleh pemerintah daerah.
"Kalau langsung ngasih (bantuan) sebelum ditetapkan bencana oleh pemda, itu tidak legal," katanya.
Ia menerangkan, masalah status bencana diatur dalam Undang-Undang (UU) 24/2007 tentang penanggulangan bencana pasa 7 ayat 2-3. UU tersebut membutuhkan turunan berupa Perpres guna menentukan kriteria, indikator, status serta tingkatan kebencanaan nasional untuk peristiwa tertentu.
Dalam penyusunannya, ia pun memperhatikan soal pelimpahan tanggung jawab penanggulangan oleh negara. Jangan sampai ketika suatu kejadian ditetapkan sebagai bencana nasional, malah membuat pelaku penyebab utama bencana tersebut bebas tugas penanggulangan dan penegakkan hukum.
Semisal kejadian kebakaran hutan dan lahan berikut kabut asapnya. Itu semua terjadi akibat ulah manusia. Penanggung jawabnya pun harus dilimpahkan kepada mereka yang benar-benar menjadi dalang penyebab kebakaran hutan.