REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra menilai jika kompromi tidak tercapai di Parlemen mengenai pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka potensi deadlock akan semakin besar.
Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang menjadi pendukung pemerintah, akan kembali berhadap-hadapan dengan Koalisi Merah Putih (KMP). Kompromi itu, ujar Yusril, termasuk dalam mencari kata sepakat soal isu penting, seperti suntikan dana ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jika tidak terselesaikan hingga 30 Oktober, maka deadlock akan terjadi.
''Jika deadlock hingga tanggal 30 Oktober, maka tidak ada pilihan kecuali voting. KIH dan KMP akan kembali berhadap-hadapan,'' ujar Yusril dalam keterangan resmi yang diterima Republika, Kamis (29/10).
Kemudian, Yusril menilai, KMP semakin solid. Terutama dengan adanya putusan MA terkait sengketa yang dihadapi dua anggota KMP, Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Selain itu, dengan kehadiran Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh KMP pada pekan lalu, seolah memberi isyarat Fraksi Partai Demokrat sejalan dengan pemikiran KMP dalam hal pembahasan APBN.
Sementara itu, sikap Partai Amanat Nasional (PAN) dianggap belum final soal pembahasan APBN. Yusril pun menilai suara Pan masih terbelah. Jika terjadi deadlock, maka skema pengambilan keputusan akan dilakukan melalui voting.
''Andai ada voting dalam pengesahan RAPBN dan mayoritas menyetujui, maka tidak ada masalah. RUU akan disahkan menjadi UU. Namun andai mayoritas menolak, maka pengesahan RAPBN gagal,'' kata mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tersebut.
Jika pengesahan RAPBN gagal, maka Presiden Joko Widodo harus menggunakan APBN tahun 2015. Namun, di titik ini justru akan menjadi masalah tersendiri bagi Presiden Joko Widodo dan bakal menggangu program pembangunan pemerintah saat ini.
Sebab asumsi yang mendasari penyusunan APBN tahun lalu tentu sudah jauh berbeda dengan tahun berjalan. Yusril pun mempertanyakan, jika kondisi ini terjadi, akankah Jokowi menempuh langkah berupa pembubaran DPR hasil Pemilu karena menolak mengesahkan RAPBN. Langkah ini pernah dilakukan Presiden Soekarno pada 1960 silam.
''Akankah Jokowi mengambil langkah revolusioner seperti Bung Karno pada 1960, membubarkan DPR hasil Pemilu karena menolak mensahkan RAPBN?. Atau Presiden Jokowi akan menempuh cara lain mengatasi tahun yang sulit dengan menggunakan APBN tahun lalu?," jelasnya.