REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Pengesahan UU APBN 2016 yang berjalan alot menyisakan ketidakpuasan di parlemen. Politikus PDIP Hendrawan Supratikno mengakui ada hal serius di balik pembahasan RAPBN 2016 silam yang alot.
“Kalau ini sampai menit-menit terakhir, ya itu artinya alot dan serius,” kata Hendrawan Supratikno saat ditemui di Cikini, Jakarta, Sabtu (31/10).
Anggota Komisi XI DPR itu mengungkapkan, hampir semua fraksi di DPR menyoroti sejumlah soal yang sama. Misalnya, pemerintah yang dinilai terlampau optimistis dalam menentukan asumsi penerimaan fiskal.
Demikian pula dengan asumsi angka pertumbuhan di tahun 2016. Namun, yang paling mengemuka ialah penyertaan modal negara (PMN) yang akan disuntikkan kepada BUMN-BUMN.
Meskipun pada akhirnya pembahasan mengenai PMN ditunda hingga APBNP 2016 nanti, kata Hendrawan, hal itu mencerminkan lemahnya kinerja Menteri BUMN Rini Soemarno. Fraksi PDIP bahkan menegaskan agar Presiden mempertimbangkan pencopotan Menteri Rini.
“Dari 10 fraksi, sembilan fraksi secara tegas meminta PMN untuk ditinjau ulang. Itu kan sudah jelas message-nya,” ucap Hendrawan Soepratikno saat ditemui di Cikini, Jakarta, Sabtu (31/10).
Hendrawan menuturkan, Menteri BUMN kerap kali meminta suntikan PMN saban kali rapat kerja dengan komisi terkait di parlemen. Namun, kata dia, proposal yang diajukan Menteri Rini kerap tidak sesuai dengan besaran dana yang diminta. Tidak ada lampiran feasibility studies, target penggunaan PMN, dan sebagainya.
“Proposal konstituen di dapil kami masih lebih lengkap, lebih bagus dibanding ini (proposal Menteri Rini). Kalau seperti ini, waduh, ini bukan BUMN, tapi badan usaha milik moyang,” ucap Hendrawan.
Bahkan, politikus partai pendukung pemerintah itu bersimpulan, kinerja Menteri Rini hanya akan menurunkan wibawa pemerintah. BUMN-BUMN semestinya menjadi cara bagi negara untuk mendapatkan keuntungan, bukan beban anggaran.
“Kalau seorang menteri tiap tahun datang ke DPR dan minta tambahan dana PNM, ya terus kalau begitu, tidak dibutuhkan seorang Rini Soemarno. Kalau pakai istilahnya Sudomo (mantan pangkopkamtib), nenek saya juga bisa (menjadi menteri BUMN),” kata Hendrawan menyindir.
Menteri Rini juga dinilai tidak peka terhadap fungsi BUMN untuk memberikan pemasukan nonfiskal kepada negara. Besaran PMN yang diminta hingga puluhan triliun, lanjut Hendrawan, justru mencerminkan profesionalisme Menteri Rini yang tak mumpuni.
“Tapi kalau setiap tahun, ini saya setor deviden Rp 34 triliun, tapi ini saya minta lagi dong penyertaan modal negara Rp 40 triliun, ya maaf saja, tidak perlu seorang Rini Soemarno, yang katanya mantan presiden direktur Astra International itu,” tegas dia.
Hendrawan tidak menampik adanya inkonsistensi sikap fraksi-fraksi terkait PMN. Sebab, pada saat pembahasan di Komisi VI sebelumnya, mayoritas fraksi menyetujui PMN. Perubahan sikap fraksi-fraksi terhadap masalah PMN di sidang paripurna lalu, menurut dia, wajar.
“Boleh kan? Kan pada Komisi VI namanya pendapat mini fraksi. Pembicaraan tingkat satu. Di pembicaraan tingkat dua, bukan pendapat lagi, (tetapi) pandangan fraksi,” ujar dia.
Dia juga menganggap wajar lobi-lobi politik yang dilakukan pemerintah ketika pembahasan RAPBN 2016 berjalan alot. Pengesahan APBN, menurut Hendrawan, selalu bersifat kompromi politik. Sehingga, pemerintah perlu melobi para ketua partai politik agar memuluskan pengesahan anggaran.
Mayoritas fraksi-fraksi menilai, kinerja ekonomi pemerintahan Jokowi-Kalla kurang memuaskan pada 2015 ini. Penurunan angka target pertumbuhan ekonomi hingga penyerapan anggaran yang lamban selalu menjadi sorotan.
Namun, Hendrawan menegaskan, hal itu tidak lantas menjadikan semua menteri terkait ekonomi pantas mengalami perombakan (reshuffle) jilid dua. Hanya menteri tertentu yang dinilai sebaiknya diganti.
“DPR memberikan sinyal (reshuffle kabinet), meski kita tahu ya, Menteri Bambang Brodjonegoro sudah berusaha kencang sekali,” ujar dia.