Selasa 03 Nov 2015 21:01 WIB

Pengamat: Rekonsiliasi Partai Golkar Hanya Berorientasi Kekuasaan

Silaturahmi nasional Partai Golkar di Kantor DPP Golkar, Jakarta, Ahad (1/11).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Silaturahmi nasional Partai Golkar di Kantor DPP Golkar, Jakarta, Ahad (1/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Centre Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi, menyesalkan tidak adanya idiom-idiom dari dua kepengurusan Partai Golkar yang menyebutkan rakyat sebagai alasan utama mereka untuk berdamai.

Orientasi dari rekonsiliasi Partai Golkar dinilai lebih kepada kekuasaan, bukan untuk pengabdian kepada rakyat.Sebelumnya, kedua kubu kepengurusan Partai Golkar sepakat mengadakan islah lewat Forum Silaturahmi (Silatnas), Ahad (1/11) kemarin.

Harapan dari diadakannya Silatnas itu pun tidak terlepas dari upaya Partai Golkar agar kader-kadernya bisa memenangkan Pilkada serentak pada 9 Desember mendatang.

"Mereka (dua kubu kepengurusan Partai Golkar) ingin bersatu dalam rangka Pilkada serentak. Tapi tidak sebersit pun mereka mengatakan, Pilkada serentak adalah kemenangan untuk rakyat. Konteksnya mereka bersatu, tapi orientasinya tetap kekuasaan,'' ujar Kristiadi saat dihubungi Republika, Selasa (3/11).

Lebih lanjut, Kristiadi menyatakan, seharusnya rekonsiliasi ini dimaksudkan untuk kepentingan rakyat, justru bukan untuk kepentingan kelompok-kelompok, yang berseteru. Orientasi untuk kepentingan rakyat ini bisa diwujudkan dengan ungkapan, program, dan kebijakan yang pro rakyat, jika kader Partai Golkar terpilih di Pilkada serentak.

Tidak hanya itu, Kristiadi menilai, selama ini publik justru menilai perebutan kekuasaan hanya terjadi di kalangan elit Partai Golkar, tanpa bisa memberikan dampak yang nyata terhadap masyarakat. Untuk itu, Partai Golkar diharapkan bisa kembali memfokuskan diri untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat lewat kebijakan yang pro rakyat.

Pun dengan adanya usulan mengenai Musyawarah Nasional (Munas) sebagai bentuk rekonsiliasi lanjutan antara kepengurusan Golkar di bawah Aburizal Bakrie dan kepengurusan di bawah Agung Laksono.

"Kalau selama ini seolah tidak ada perhatian dengan kerakyatan, artinya semua bentuk rekonsiliasi itu jadinya transaksional saja, hanya menjadi cara mereka untuk mengakomodasi kepentingan masing-masing,'' tutur Kristiadi.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement