REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa waktu yang lalu, tepatnya Jumat (23/10), Hari Asyura, 10 Muharram menyapa umat Muslim. Pada hari itu, Rasulullah SAW menganjurkan untuk berpuasa. Meskipun sunat, tetapi keutamaannya tak boleh dilupakan.
Abu Hurairah menukil sebuah riwayat tentang keistimewaan puasa Asyura. Dijelaskan bahwa, puasa yang lebih utama setelah Ramadhan ialah puasa di bulan Muharram. Dan, shalat yang lebih utama derajatnya setelah shalat wajib ialah shalat tahajjud.
Kitab klasik karangan Imam Yusuf bin Hasan bin Abd al-Hadi al-Maqdisi ad-Dimasyqi al-Hanbali ini, yang berjudul Ma’arif al-In’am wa Fadhl as-Syuhur wa al-Ayyam ini mengungkap keutaman-keutamaan 10 Muharram tersebut.
Ada banyak keutamaan berpuasa Muharram. Riwayat Abu Qatadah al-Anshari menyebut, puasa Asyura menutupi dosa tahun yang lalu. Dosa yang dimaksud itu, menurut Imam Nawawi, adalah dosa kecil dan bukan dosa besar. Keutamaan lain, seperti dijelaskan oleh Ibnu Abbas.
Ia mengatakan bahwa, tidaklah Rasulullah berpuasa dan mencari keutamaannya atas hari-hari yang lain, kecuali puasa pada hari ini (Asyura). Dan, tentunya, berpuasa Asyura adalah bentuk mengikuti sunah Nabi Musa AS atas rasa syukur telah diselamatkan Allah dari kejaran tentara Firaun.
Bahkan Ibn al-Mibrad menyebutkan fakta mencengangkan, bahwa tak hanya umat manusia yang berpuasa pada 10 Muharram, binatangpun turut berpuasa 10 Muharram. Suatu ketika, Khalifah Dinasti Abbasiyah, al-Qadir Billah, terheran dengan semut yang enggan memakan roti pemberiannya. Tiap hari, kebiasaan itu ia lakukan. Tapi entah mengapa, pada siang hari itu, roti-roti yang ia berikan masih utuh.
Ia pun lantas menanyakan kejadian aneh itu kepada para penasehatnya.
Mereka menjawab, alasan semut tidak menyantap roti tersebut lantaran hari itu adalah 10 Muharram. Kisah yang sama juga pernah dicermati oleh seorang alim, Fath bin Syukhruf.”Roti yang tiap hari aku berikan kepada semut, tidak mereka makan ketika 10 Muharram,” katanya.