Rabu 04 Nov 2015 15:33 WIB

Titik Jenuh Tradisi Intelektual Islam

Rep: c38/ Red: Indah Wulandari
Laboratorium sangat dibutuhkan para peneliti di Indonesia.
Foto: faperta.ugm.ac.id
Laboratorium sangat dibutuhkan para peneliti di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pada abad ke-7 hingga ke-12, tradisi intelektual Islam pernah mencatatkan masa gemilang. Madrasah-madrasah dibangun, pusat penerjemahan dan laboratorium didirikan, buku-buku diproduksi, bahkan penguasa aktif menyokong keuangan para ilmuwan.

Namun, tradisi intelektual itu kini seolah redup. Kemana tradisi intelektual Muslim hari ini?

Dilansir dari Muslim Village, Rabu (4/11), tak kurang dari 25 persen penduduk dunia mendiami 57 negara Muslim. Negara Muslim yang dimaksud di sini adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim dan bagian dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI).

Dengan populasi sebanyak itu, menurut studi tahun 2012, mereka hanya memberikan kontribusi atas 1,6 persen hak paten dunia, 6 persen publikasi akademik, dan 2,4 persen dari belanja penelitian global. Ada sekitar dua belas universitas berperingkat 400 besar, tapi tidak ada universitas yang menduduki 100 besar peringkat dunia.

Terilhami dari kondisi ini, dua tahun lalu, Muslim World Science Intiative menggulirkan sebuah penelitian. Riset yang dipimpin penasihat PM Malaysia Zakri Abdul Hamid, ini melibatkan sejumlah pakar, pembuat kebijakan, dan ilmuwan dari seluruh dunia.

Hasil penelitian mereka menunjukkan adanya situasi bermasalah. Dikatakan, banyak program studi di universitas menggunakan metode pengajaran usang dan tanpa materi yang memadai. Di sebagian besar negara OKI, sistem pendidikan amat dikotomis. Sains dan teknologi di satu sisi, sementara ilmu humaniora dan seni di sisi lain.

Selama kurun waktu 1996-2005 hingga 2006-2015, sebagian besar negara OKI memproduksi dua atau tiga kali lipat karya ilmiah. Namun, jumlah karya ilmiah yang dihasilkan tetap masih di bawah rata-rata negara dengan GDP per kapita yang sama.

Kutipan dari karya ilmiah negara-negara OKI juga lebih jarang. Rata-rata 5,7 kutipan per karya ilmiah selama 2006-2015 untuk negara OKI, berbanding 9,7 untuk Afrika Selatan dan 13, 8 untuk Israel, dua negara dengan tingkat GDP per kapita yang sebanding. Sebuah daftar 100 karya ilmiah yang paling banyak dikutip sejak tahun 1990-an tidak memuat satu pun penulis dari negara mayoritas Muslim.

Alhasil, penelitian itu menyarankan perguruan tinggi di negara-negara OKI untuk merevitalisasi metode pengajaran mereka. Universitas harus mengembangkan cara-cara baru untuk mendorong para akademisi terlibat dalam penelitian. Kendati demikian, universitas perlu memberikan takaran tepat supaya tidak mendorong akademisi terjebak pada plagiarisme dan ilmu sampah akibat tekanan publikasi.

Dalam sains, pengajaran berbasis eksperimen dapat mempermudah pemahaman konsep-konsep ilmiah. Tapi, metode ceramah masih dominan di kebanyakan universitas. Buku teks sains yang digunakan kebanyakan juga diimpor dari Amerika atau Eropa. Meski memuat standar materi tinggi, ini merugikan banyak siswa dan menciptakan keterputusan antara pendidikan dengan kebudayaan. Lebih lanjut, pendekatan multidisiplin harus digiatkan. Sains tidak perlu dialienasi dari seni, sejarah, dan filsafat. Selaras dengan itu, pemerintah perlu memberikan otonomi kepada universitas supaya lebih mandiri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement