REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Psikologi Klinis Universitas Gadjah Mada (UGM) Nur Rohman Hadjam menyebut perlu ada penyelidikan kejiwaan ke Serda YH. Ini menyangkut peristiwa penembakan hingga menewaskan korban bernama Japra.
"Fungsinya untuk melihat ada penyimpangan jiwa atau tidak," jelasnya kepada Republika, Rabu (4/11).
Dia menyebut jika ada penyimpangan jiwa, artinya pelaku tak mutlak salah 100 persen. Sebab Serda YH tergolong dalam kondisi sakit. Justru pasca peristiwa ini pelaku perlu diobati mental dan jiwanya.
Namun jika tak ada unsur penyimpangan jiwa, artinya kejadian murni spontanitas. Dimana karena tersulut emosi, akhirnya penembakan terjadi. "Kalau ini yang terjadi, maka Serda YH mesti dihukum berat," jelasnya.
Dia menyebut faktor dari pribadi pelaku bisa menjadi faktor dominan. Misal Serda YH tergolong temperamental. Jadi ketika distimulus dengan aksi senggol di jalanan membuat kemarahannya meluap. Lalu terjadilah peristiwa itu.
"Atau bisa juga Serda YH sedang ada masalah sebelumnya. Jadi ketika disinggung sedikit saja, kemarahannya langsung meledak dengan menembak orang," kata dia.
Paska kejadian ini, Nur menyarankan perlu ada pengawasan ketat. Yakni kapan seorang tentara boleh atau tak boleh menggunakan senjata. "Saya pikir SOP nya sudah ada. Tinggal pelaksanaanya mesti dijalankan secara ketat," jelasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, oknum TNI Angkatan Darat dari kesatuan Kostrad, Serda YH menembak pengendara motor, Marsim alias Japra (40) hingga tewas di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (3/11) sore. Peristiwa tersebut bermula dari mobil pelaku terserempet motor korban.