REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Polemik mengenai Surat Edaran (SE) Nomor SE/6/X/2015 tentang Hate Speech atau Ujaran Kebencian terus menjadi perdebatan publik. Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti menjelaskan, surat edaran tersebut ditujukan untuk internal kepolisian, bukan publik.
SE tersebut sejenis naskah dinas untuk menangani persoalan penghinaan dan pencemaran nama baik. Badrodin mengatakan, SE itu mengatur tata cara bagaimana Kepolisian di pusat maupun daerah untuk terlebih dahulu memediasi dua pihak yang bersengketa.
"Menurut saya, ini lebih bijak dan soft di dalam penanganan persoalan yang tercantum dalam surat edaran tersebut," kata Baidordin usai memberi kuliah umum di Universitas Brawijaya, Malang, Jumat (6/11).
Badrodin mengatakan, sebelumnya jika ada persoalan penghinaan dan pencemaran nama baik, polisi segera melakukan proses hukum. Dalam SE tersebut, diimbau untuk melakukan pertemuan kedua belah pihak terlebih dahulu. Lalu, mencari solusi terbaik untuk keduanya.
"Tapi, kalau masing-masing tidak dapat mencapai kesepakatan maka proses hukum tetap berjalan," kata mantan kepala Polda Jatim itu.
Baidrodin mengatakan, tidak ada SE tersebut pun proses hukum yang melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik tetap dapat diproses secara hukum.
(Baca juga: Surat Edaran Ujaran Kebencian Bisa Jadi Alat Kriminalisasi)
Sebelumnya, Badrodin juga telah menegaskan, pada dasarnya SE itu bersifat normatif karena mengacu ke Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). SE itu merupakan penegasan dari apa yang sudah diatur di dalam KUHP terkait penanganan perkara yang menyangkut ujaran kebencian.
Diharapkan, SE itu tidak membuat pimpinan Polri, khususnya di daerah-daerah yang rawan konflik tak ragu dalam mengambil keputusan dalam penyelesaian perkara itu.
Dalam kuliahnya pun Baidrodin mengatakan, cukup senang ada diskusi publik mengenai permasalahan ini. Dengan ada perdebatan SE tersebut masyarakat maupun pengamat sadar tentang persoalan itu. "Tanpa membuat seminar, sudah ada perdebatan publik mengenai persoalan ini," katanya.