REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah, khususnya kepolisian dituntut bisa membedakan antara hate speech (ujaran kebencian), kritik, opini, maupun ungkapan satir.
"Dalam situasi di mana perbincangan atas nama HAM sering kali menjadi rujukan banyak orang untuk melindungi kekebasan dirinya maupun kelompoknya, mulai dari kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat, maka ujaran kebencian sering terjadi antarsekte agama di belahan dunia. Pemerintah harus ambil sikap," kata sosiolog dari Nahdlatul Ulama Susianah Affandy mengatakan, Jumat (7/11).
Media sosial, terang dia, banyak digunakan untuk melontarkan kebencian atas nama agama ini. Misalnya, ada pernyataan di media sosial, seperti 'ayo kita bakar gereja, masjid, dan lainnya'. Atau, 'ini haram, itu bid’ah, dan kamu kafir'. Susianah menegaskan bahwa itulah ujaran kebencian sesungguhnya.
Menurut Susianah yang juga Ketua Presidium Kaukus Perempuan Muda NU, harus dibedakan antara hate speech dengan kritik.
"Namun, kebanyakan di media sosial yang banyak ditulis masih tergolong kritik dan itu dilindungi Undang-Undang Dasar."
Rakyat, ujarnya, mengkritik pemimpinnya harapannya agar pemerintahan menjadi lebih baik. Artinya, dalam era demokrasi serbaterbuka ini, partisipasi masyarakat seluas-luasnya sangat diperlukan. Temasuk, dalam hal partisipasi publik atas kinerja pemimpin dari rakyatnya.