REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini, berembus kabar miring Pemerintah Indonesia membayar uang senilai 80 ribu dolar AS dan menggunakan jasa broker untuk bisa bertemu Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Meski di negeri Paman Sam praktik tersebut sudah cukup lazim, Indonesia sebaiknya tidak perlu ikut-ikutan menggunakannya.
Pengamat politik internasional dari Universitas Paramadina Pipip A Rifai Hasan mengatakan, organisasi-organisasi atau lobby group bertindak sebagai penghubung dengan orang-orang penting dalam sistem kekuasaan di AS.
"Namun demikian, saya berpendapat Indonesia tidak usah menggunakan broker semacam itu. Cukup melalui saluran diplomatik resmi," kata Pipi saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (8/11) malam.
Jika Pemerintah Indonesia berniat memperoleh kesepakatan-kesepakatan penting dengan Pemerintah AS, cukuplah dengan mengerahkan 'kekuatan' dalam negeri saja.
"Perankan Kementerian Luar Negeri dan para diplomat kita untuk memperjuangkan kepentingan negara," ujar Pipip.
Seperti diberitakan sebelumnya, kedatangan Presiden Jokowi ke AS untuk urusan perdagangan, pertahanan, dan hubungan bilateral menyisakan tanda tanya besar. Pasalnya, beredar kabar tidak sedap bahwa ternyata Pemerintah Indonesia menggunakan jasa konsultan Singapura untuk melobi agar mendapat akses ke Washington.
Hal ini terkuak lewat kicauan jurnalis senior Benjamin Bland yang menyebutkan konsultan PR Singapura membayar 80 ribu dolar AS kepada perusahaan PR Las Vegas untuk melobi agar Pemerintah Indonesia mendapatkan kesempatan dan akses ke Washington.
Dalam artikel berjudul "Waiting in The White House Lobby" yang ditulis oleh seorang dosen Ilmu Politik Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies di London, Michael Buehler, disebutkan kunjungan resmi pertama Presiden Jokowi ke Washington cukup singkat. Jokowi dan Obama bertemu selama 80 menit untuk membicarakan masalah bilateral antara Indonesia dan AS.