REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembelian listrik oleh PT PLN (persero) kepada pihak swasta atau independent power producer (IPP) bisa dilakukan tanpa persetujuan pemegang saham atau Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan dewan komisaris. Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengungkapkan, alasan utama di balik kebijakan ini adalah proses pembelian listrik kepada IPP yang harus melalui persetujuan Kementerian BUMN rawan sumbatan. Kementerian BUMN dan dewan komisaris dinilai tidak memiliki pihak yang mengerti secara teknis untuk menganalisis IPP layak atau tidak.
"Mereka tidak punya perangkat untuk menganalisa IPP baik buruk, caranya, teknisnya, yang tahu semua itu PLN. Jadi memang untuk dalam rangka percepatan proses, untuk melakukan percepatan, maka diberikan kepada direksi," ujar Sofyan di Jakarta, Selasa (10/11).
Meski demikian, karena nilai kerja sama bisa melebihi kewenangan direksi, Sofyan menekankan bahwa direksi harus tetap berpatokan pada Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). Dengan begitu, maka tanggungjawab yang tadinya juga dibebankan kepada dewan komisaris kini sepenuhnya dialihkan kepada direksi.
"Ditarik ke direksi, seperti di bank. Semua umumnya nampaknya sudah seperti itu sekarang. Karena komisaris nggak punya divisi analisa, teknis, kasihan dikasih tanggung jawab begitu. Itu bukan kewenangan Komisaris, kewenangan BUMN yang dipangkas," kata Sofyan.
Kebijakan ini telah dijalankan sejak Oktober lalu. Alasan lain penetapan kebijakan ini adalah untuk mempercepat capaian target proyek 35 ribu MW. Hal ini karena, Sofyan mengaku, selama ini apabila ada proposal IPP bisa terhambat di level pemegang saham. Sehingga, solusinya adalah dengan mengembalikan kewenangan kepada direksi.
"Lhoh, sekarang saya bawa proposal IPP 1.000 MW, dibawa ke Deputi BUMN, yang mau memeriksa siapa, saya tanya pada Anda. Nggak ada kan. Aku saja menyerahkan kepada direksi kok yang ahli," ujarnya.