REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pelajar membutuhkan pengetahuan mengenai terorisme dan deradikalisasi.
Sehingga, pelajar dapat memiliki benteng pengetahuan melawan gerakan teror dan radikal. Isu terorisme dan radikalisme dinilai sudah menyebar dan mencapai banyak pihak termasuk pelajar dan pemuda.
"Pemerintah lebih sibuk mengeluarkan regulasi antiterorisme dan menghukumi para pelaku terorisme. Padahal menurut saya untuk upaya pencegahan lebih baik berinvestasi lewat edukasi," ujar dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Nurlena Rifai, Rabu (11/11).
Sebagai pembicara dalam "International Conference On Education in Muslim Society" di UIN Syarif Hidayatullah, Nurlena menganalisa, penyebab mudahnya pelajar tertarik dengan gerakan radikal akibat minim pengetahuan tentang terorisme dan radikalisme.
Ia menegaskan, pembahasan terorisme tidak perlu menjadi hal tabu dalam dunia pendidikan. Ia pun mendorong agar ada edukasi kepada murid melalui jalur formal. Dalam risetnya, ia menilai pendidikan terorisme bukan hanya tanggung jawab pendidikan agama tapi juga pendidikan kewarganegaraan.
Nurlela mengakui, sempat ada kekhawatiran sejumlah pihak yang menilai pembahasan terorisme justru akan menjadi bumerang.
"Ada yang khawatir jika anak dijelaskan mengenai terorisme justru tergiur. Tapi, menurut saya itu kurang tepat," tegasnya.
Nurlela menilai pengetahuan isu terorisme penting dimiliki pelajar. Menurutnya, Indonesia menjadi sasaran empuk kampanye-kampanye tersebut dengan iming-iming yang beragam mulai dari dorongan agama hingga faktor ekonomi.