REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertemuan tripartit penyelenggara Pemilu, Selasa (10/11) kemarin, belum menghasilkan keputusan terkait status pencalonan tiga calon kepala daerah yang masih berstatus bebas bersyarat. Pertemuan hanya menyepakati perlunya koordinasi kembali dengan Mahkamah Agung (MA) untuk mendapat fatwa terkait penjelasan status bebas bersyarat.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay mengatakan fatwa MA diperlukan sebagai penjelas pasca-dikeluarkannya surat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) terkait bebas bersyarat. Ia menilai fatwa MA yang pernah dikeluarkan MA pada 16 September lalu belum menjawab kategori status bebas bersyarat apakah sudah menjadi mantan terpidana atau belum.
"Karena MA pernah keluarkan fatwa untuk menjawab permintaan Bawaslu, tapi fatwa itulah yang kemudian menjadi perselisihan pemahaman yang di luar ini," ujar Hadar kepada wartawan di Kantor KPU RI, Jakarta, Rabu (11/11).
Hadar mengatakan dalam fatwa MA tersebut hanya menjelaskan definisi-definisi mantan terpidana dan mantan narapidana saja. Berbeda dengan surat Kementerian Hukum dan HAM yang justru secara lugas menyebut calon yang berstatus bebas bersyarat masih berstatus terpidana.
Surat Kemenkumham itu bertentangan dengan Putusan MK yang menyebut mantan terpidana bisa mencalonkan diri sebgai calon kepala daerah.
"Sebetulnya ini yang menjadi perdebatan dari pihak pengacara calon yang berpandangan bahwa clientnya sudah memenuhi syarat. Meski Menkumham telah menegaskan namun ada yang berpandangan yang berhak mengeluarkan itu ialah MA. Jadi kami perlu hati-hati," ungkap Hadar.
Kasus status bebas bersyarat ini terjadi pada calon kepala daerah di Pilkada kota Manado, Sulawesi Utara, yakni Jimmy Rimba Rogi yang bebas bersyaratnya baru berakhir 29 Desember 2017, calon bupati Bone Bolango, Gorontalo, Ismet Mile yang berakhir 5 Desember 2015 dan calon Bupati Doven Digoel, Papua, Yusak Yaluwo yang berakhir 26 Mei 2017.
(Baca juga: Loloskan Napi dalam Pilkada, Panwas Manado Diberhentikan)