REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- PT Godang Tua Jaya selaku pengelola Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang menyatakan mengalami kerugian besar. Sebab, modal investasi yang hampir sebesar Rp 700 Miliar hingga tahun 2023 belum menghasilkan keuntungan, terlebih dengan keputusan Ahok yang akan memutus kontrak kerja antara Pemprov DKI Jakarta dan PT GTJ.
"Rencana investasi sekitar Rp 699 M, yang sudah terserap hampir Rp 500 M. Boro-boro balik modal," kata Rekson Sitorus usai menghadiri rapat dengan Komisi A DPRD Kota Bekasi, Jumat (13/11).
Terkait dengan keputusan Ahok untuk memutuskan kontrak dengan PT GTJ, Rekson menyatakan pasrah saja. Sementara untuk permasalahan hukumnya, pihaknya akan menyerahkan sepenuhnya pada kuasa hukum GTJ, Yusril Ihza Mahendra.
"Saya ini rakyat Indonesia yang patuh pada kebijakan pemerintah, saya bisa berbuat apa (jika putus kontrak). Dari sisi aspek hukumnya kita serahkan kepada yusril. Tapi sampai saat ini kita masih menantikan untuk mediasi, duduk bersama," katanya.
Menurut Rekson, adanya polemik ini menjadikan pihaknya introspeksi diri sebagai pengelola. Ia pun mengaku jika pihaknya tidak akan berusaha membela diri. "Kita jangan coba-coba membela diri, apa yang membuat seperti ini, tentu ada kelemahan-kelemahan dan kelalaian," imbuhnya.
Sementara itu, Tenaga Ahli PT GTJ, Benny Tunggul menambahkan sejak tahun 2009 hingga 2015, investasi yang dikeluarkan oleh pihak GTJ mencapai Rp 500 Miliar, dari target investasi Rp 700 Miliar hingga tahun 2023.
"Kami keluarkan Rp 500 miliar itu untuk membangun kompos, daur ulang, dan power plant. Nah yang terakhir ini terganggu dengan sampah DKI yang melampaui batas," katanya.
Menurutnya, dana sebesar itu murni berasal dari dana PT GTJ. Pihak Pemprov DKI Jakarta hanya memberikan tipping fee saja sesuai dengan jumlah tonase sampah DKI yang masuk ke pihak pengelola.
"Jadi sesuai Perpress No. 67 Tahun 2005 kerja sama negara dengan swasta, menyatakan, 'kamu kerja, jumlah kerja baru dibayar'. Makanya kalau ada yang bilang korupsi itu salah. Timbangan sampah yang punya kan DKI, bukan kami," jelas Benny.
Sampai saat ini, lanjut Benny, tipping fee yang dibayarkan DKI Jakarta yaitu sebesar Rp 123.452 rupiah per ton. Jumlah tersebut sudah termasuk comodity development untuk Kota Bekasi sebesar 20 persen dan PPN/pPH sebesar 10 persen.
Padahal, lanjut Benny, berdasarkan master plan sampah DKI Jakarta, nantinya volumenya akan turun, dari yang seharusnya 3000 ton menjadi 2000 ton. Namun, kenyataannya saat ini tonase sampah DKI malah melebihi 6000 ton. Sehingga bukan hanya merugikan pihak pengelola terkait uang tipping fee yang seharusnya diterima, namun juga proses gasifikasi.
"Nah ini mengganggu operasional disana, seperti masalah gasifikasi itu," imbuh Benny.
Apabila ada pemutusan kontrak, lanjut Benny, ini membuktikan pola kepemimpinan yang salah dalam investasi. Sebab, investasi tersebut diberikan tanpa jaminan yang pasti.
"Dia sendiri gampang merusak perjanjian tanpa jaminan yang pasti. Kalau misalnya terjadi pemutusan, nah kemana investasi dilakukan? Ini menjadi bukti pola kepemimpinan yang salah dalam investasi. Karena dalam investasi ada tenaga kerja, ada masyarakat dan lingkungan yang diberdayakan," ujar Benny.
Untuk itu, lanjut Benny, jika terjadi pemutusan kontrak, PT GTJ akan mengalami kerugian yang besar dan hutang besar ke bank. "Kalau kami utang ke bank berapa. Itu jadi potensi kerugian negara bukan kerugian kami,"tukasnya.