REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dualisme kepengurusan Partai Golkar dinilai akibat adu ego Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Menariknya, dua tokoh utama dinilai pula gagal membawa Golkar mencapai target di pemilihan umum tahun 2014 kemarin. Keduanya masuk dalam kepengurusan hasil musyawarah nasional Riau tahun 2009.
Mantan Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Abdul Latief mengatakan, kepengurusan hasil Munas Riau sudah gagal membawa Golkar dalam kemenangan. Tokoh senior Golkar ini belum melihat adanya pengakuan atas kegagalan Golkar di pemenangan pemilu 2014 kemarin.
Akhirnya, Partai Golkar saat ini hanya berada di luar pemerintahan. Padahal, tradisi Golkar adalah tradisi berkarya.“Kalau Golkar tidak berkarya bukan salah anggota, tapi pimpinan (kepengurusan munas Riau),” kata Abdul Latief di Jakarta, Ahad (15/11).
Mantan Menteri Tenaga Kerja tahun 1993-1998 ini menambahkan, kegagalan pengurus Golkar hasil munas Riau juga mengakibatkan pertikaian di internal hingga berujung ke pengadilan. Menurut Abdul Latief, dalam menjalankan organisasi ada dua pijakan yang harus diikuti oleh setiap kader. Pertama, aturan yang tertulis dalam AD/ART partai.
Selain AD/ART partai, masih ada aturan yang tidak tertulis, yaitu moral dan etika. Dalam kasus Golkar dibawah kepemimpinan Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, seharusnya setelah gagal membawa Golkar dalam kemenangan, mereka mengundurkan diri.
“Dua-duanya pemimpin yang gagal, kalau saya gagal dalam program, saya kalah, saya akan mundur,” imbuh Abdul Latief.
Untuk menyelesaikan pertikaian di internal Golkar, Abdul Latief mengusulkan segera diadakan munas luar biasa. Munas yang transparan, bersih dan dapat diikuti oleh siapapun. Menurut Abdul Latief, Ical dan Agung Laksono memang berhak untuk maju dalam pemilihan di munas luar biasa tersebut. Tapi, secara moral, jika sudah gagal mengurus Golkar, kedua orang tersebut seharusnya menerapkan etika untuk tidak maju kembali.