REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mendengar nama Bantargebang, hal yang langsung terlintas adalah sebuah tempat pembuangan akhir sampah, namun di lokasi beraroma tidak sedap itu terdapat secercah harapan bagi anak-anak pemulung di sana untuk dapat menuntut ilmu di Sekolah Alam yang bernama Tunas Mulia.
Kehidupan masyarakat di lokasi sekitar tempat pembuangan sampah Bantargebang jauh dari kata sehat. Jalan setapak untuk menuju ke permukiman warga adalah dari sisa-sisa sortiran sampah plastik, bekas kasur dan lain-lain yang membuat jalan tersebut seakan ingin longsor karena saking rapuhnya.
Aroma busuk khas sampah, juga air kehitaman yang dihasilkan dari tumpukan sampah menjadi pemandangan yang biasa saat melalui jalan beraspal menuju bukit sampah. Belum lagi dengan cuaca panas yang kian membuat sumpek suasana di Bantargebang, Bekasi.
Masyarakat di sekitar bukit sampah yang mayoritas bekerja sebagai pemulung ini memang kurang memperhatikan pendidikan anak-anaknya, karena menurut mereka lebih baik ikut bekerja membantu keluarga dibanding bersekolah. Hal ini yang membuat hati seorang guru mengaji, Nadam Dwi Subekti terketuk mendirikan Sekolah Alam Tunas Mulia.