REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Kesimpangsiuran informasi terkait harga gas yang dilakukan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) harus diusut tuntas. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, pemerintah tidak bisa membiarkan hal tersebut karena persoalan harga terkait erat dengan kepentingan konsumen.
“Kesimpangsiuran ini tidak bisa dibiarkan. BPK harus melakukan audit terhadap PGN,” kata Tulus di Jakarta, Senin (16/11) malam.
Tulus melanjutkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memang harus turun tangan. Dari hasil audit nanti akan diperoleh struktur tarif yang diterapkan PGN. Kalau ternyata PGN juga memberlakukan tarif yang berbeda seperti yang dinyatakan kepada publik, pemerintah harus memberikan sanksi tegas.
“Karena kalau sudah ada audit BPK, berarti sudah teruji oleh lembaga yang kompeten,” katanya.
Di sisi lain, Tulus mengatakan, sebagai BUMN yang sekaligus perusahaan publik, PGN memang harus bersikap transparan, termasuk dalam harga. Apalagi, gas sangat berpengaruh terhadap masyarakat karena end user dari gas adalah PLN yang notabene perusahaan penyedia listrik dan berbagai sektor industri.
Tulus juga menambahkan, jika PGN memang memberlakukan struktur tarif yang berbeda dengan yang dipublikasikan, sesungguhnya PGN tidak layak menjadi agregator gas. Karena bagaimana pun, memanipulasi tarif merupakan tindakan yang fatal.
“Jika memang demikian, PGN tidak layak menjadi agregator gas. Sebab, hal itu menyangkut ketidaktransparanan manajemen dalam memformulasikan tarif,” katanya.
Bukan hanya itu, kata Tulus, sebagai perusahaan publik, apa yang dilakukan PGN juga ibarat bumerang yang bisa mempengaruhi harga saham mereka. Jika publik sudah tidak percaya, harga saham mereka bisa rontok.
Sebelumnya, Kepala Divisi Komunikasi PGN Irwan Andri Atmanto mengatakan, PGN menjual gas dengan harga 14 dolar AS per MMBTU. Bahkan Sumatra Utara, PGN hanya mengambil selisih 0,2 dolar AS per MMBTU.
Direktur Eksekutif Indonesian Resourcess Studies (IRESS) Marwan Batubara berpendapat, pernyataan tersebut patut dipertanyakan. Sebab, PGN diduga menjual gas dengan harga yang lebih tinggi. Menurut Marwan, BUMN memang harus transparan dalam menetapkan harga. “Harus jelas komponennya, apakah sesuai aturan atau tidak,” katanya.
Marwan melanjutkan, pihak yang seharusnya melakukan klarifikasi adalah pemerintah. Pemerintah harus terlibat, sehingga tidak ada kesimpangsiuraninformasi kepada publik. “Tetapi yang penting harus solid. Ini bukan melibatkan swasta, ini perusahaan negara. Mestinya pemerintah bisa mengendalikan, apakah itu Kementerian ESDM atau Kementerian BUMN,” ujarnya.
Menurut Marwan, aspek yang menjadi pemicu adalah Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa. Dalam peraturan itu dikatakan bahwa harga gas ditetapkan oleh BUMN.
“Kalau masih membiarkan BUMN menetapkan harga, itu sama artinya dengan tidak mematuhi perubahan terutama pasal 28 UU Migas. Itu yang seharusnya menjadi pegangan, bukan Permen,” kata Marwan.