REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran mengatakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada 2016 sangat memberatkan industri rokok. Kenaikan tarif dinilai terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan kemampuan industri.
Ismanu mengatakan, para pengusaha rokok sebenarnya sudah meminta agar kenaikan tarif cukai disesuaikan. Namun, pemerintah khususnya Kementerian Keuangan masih menetapkan kenaikan tarif cukai rokok rata-rata 11,19 persen pada tahun depan.
"Kemampuan kami sebetulnya kenaikan tarif maksimal rata-ratanya 6-7 persen. Itu sudah kami hitung berdasarkan asumsi pertumbuhan ekonomi dan inflasi," kata Ismanu kepada Republika, Kamis (19/11).
Dia menambahkan, beban industri rokok semakin berat karena ada kewajiban bahwa pita cukai untuk pemesanan periode Januari-Februari 2015 harus dibayar tahun ini juga. Kalau ditotal, nominalnya mencapai Rp 20 triliun.
"Kewajiban ini juga yang membuat kami kebingungan selain adanya kenaikan tarif pada tahun depan," ucapnya.
Tahun depan, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 11,19 persen untuk mengejar target penerimaan cukai dalam APBN 2016 sebesar Rp 146,4 triliun.
Kenaikan tarif cukai rokok terbesar terjadi pada rokok sigaret putih mesin (SPM) atau rokok putih sebesar 12,96-16,47 persen. Rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM) 11,48-15,66 persen, sigaret kretek tangan (SKT) 0-12 persen.