REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pengusaha industri rokok akan berupaya tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) meskipun tarif cukai rokok mengalami kenaikan pada tahun depan.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran mengatakan, para pengusaha rokok sudah berkomitmen untuk lebih dulu melakukan efisiensi dalam bentuk pengurangan jam kerja kalau nantinya kenaikan tarif benar-benar mengganggu bisnis rokok.
"PHK adalah pilihan terakhir. Kami jaga supaya tidak terjadi," kata Ismanu kepada Republika, Kamis (19/11).
Ismanu mengungkapkan pada tahun ini sudah ada beberapa pabrik rokok yang melakukan efisiensi berupa pengurangan tenaga kerja. Rasionalisasi karyawan ini menjadi efek dari perlambatan ekonomi.
Karena itu, ia berharap tahun depan pemerintah dapat memacu pertumbuhan ekonomi sehingga daya beli masyarakat meningkat. "Sekarang kan di kuartal tiga pertumbuhan ekonomi sudah membaik. Semoga bisa bertahan dan ditingkatkan lagi tahun depan," ucapnya.
Tahun depan, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 11,19 persen untuk mengejar target penerimaan cukai dalam APBN 2016 sebesar Rp 146,4 triliun.
Kenaikan tarif cukai rokok terbesar terjadi pada rokok sigaret putih mesin (SPM) atau rokok putih sebesar 12,96-16,47 persen. Rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM) 11,48-15,66 persen, sigaret kretek tangan (SKT) 0-12 persen.