REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem rotasi maupun mutasi jenjang karier di institusi Kejaksaan Agung tengah disoroti publik. Salah satu contohnya terkait penarikan jaksa KPK Yudi Kristiana yang tengah menangani kasus suap dengan terdakwa OC Kaligis dan mantan sekjen Partai Nasdem Patrice Rio Capella.
“Contoh saja promosi jaksa KPK Yudi Kristiana, promosi Direktur Penyidikan Pidsus Maruli Hutagalung, lalu yang terbaru persaingan merebut kursi Kepala Kejati DKI Jakarta,” kata Amril kepada wartawan di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, sesuai perundang-undangan, baik promosi dan mutasi jaksa harus dilihat dari track record yang bersangkutan secara kualitas dan kuantitasnya. Sangat disayangkan, kata dia, jika ada oknum jaksa yang tidak berprestasi dan diduga terlibat suatu pidana justru dipromosikan.
“Meski sudah ada aturan maupun standar operasional prosedur yang berlaku, sepertinya bidang pembinaan Kejaksaan Agung tidak mengimplementasikan apa yang sudah ada dalam aturan tersebut. Wajah penegakan hukum di Indonesia makin tercoreng, sekaligus tidak sesuai Nawa Cita Jokowi,” tuturnya.
Dia menjelaskan, proses mutasi ataupun promosi seorang jaksa harus berdasarkan kompetensi dan berbasis kinerja yang profesionalisme. Maka penempatan itu harus dilakukan dengan melihat masa bakti kerja para jaksa itu sendiri untuk di rolling.
Selain itu, untuk seleksi tak masalah, asal tepat sasaran dan bukan asal penempatan. “Jika sistem promosi mutasi berjalan profesional, maka jaksa akan memiliki motivasi untuk bekerja secara profesional dan berintegritas,” ujarnya.
"Jaksa yang dipromosikan pangkatnya harus memiliki profesionalisme. Menguasai bidang, kariernya berprestasi. Pendidikan juga penting. Tapi jika penundaan pangkat karena faktor like and dislike, maka pimpinan tersebut tidak cakap menempati jabatan."