REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Kepala Staf Angkatan Darat Prancis mengaku tidak melihat kemenangan jangka pendek dalam memerangi ISIS. Meski pihaknya mengintensifkan serangan di Suriah menyusul serangan mematikan di ibu kota Prancis.
"Tidak akan ada kemenangan militer terhadap ISIS dalam jangka pendek," ujar Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Pierre de Villiers kepada surat kabar Prancis Le Journal du Dimanche Ahad (22/11).
Ia mengatakan, dalam militer digunakan untuk jangka panjang, namun masyarakat ingin hasil yang cepat. "Di Suriah dan Irak kita berada di jantung paradoks itu. Semua orang tahu bahwa pada akhirnya konflik ini akan diselesaikan melalui saluran diplomasi dan politik," lanjut de Villiers.
Presiden Francois Hollande menyerukan koalisi besar, termasuk Amerika Serikat dan Rusia untuk memberantas ISIS di Suriah. Hollande juga akan bertemu dengan Presiden Barack Obama dan Vladimir Putin pekan depan.
Hollande akan melakukan perjalanan ke Washington untuk berbicara dengan Obama pada Selasa kemudian ke Mosow untuk bertemu Putin. Kedatangan Hollande untuk membahas bagaiaman militer negara mereka bisa bekerja sama.
Rusia dan negara-negara Barat terbagi atas Suriah. Rusia mendukung Presiden Bashar al-Assad sementara Barat mengatakan Assad harus meninggalkan kekuasaan untuk mengakhiri perang sipil Suriah.
De Villiers mengaku telah berbicara dengan rekan Rusia-nya melalui telepon untuk membahas kapal negara mereka berkaitan dengan Suriah. Namun, Prancis tidak membicarakan koordinasi serangan atau target dengan Rusia bahkan jika memiliki musuh yang sama, ISIS.
Sejak pemboman dan penembakan di Paris 13 November, pesawat perang Prancis telah meluncurkan serangan terbesar mereka di Suriah sampai saat ini, termasuk menyerang kubu ISIS di Raqqa.
Dalam waktu tiga hari, sekitar 60 bom dijatuhkan ke kamp pelatihan atau pusat komando yang menjadi sasaran serangan Ahad lalu. "Saya benar-benar berpikir, kami serius menghancurkan mereka," kata de Villiers.
Ia menambahkan, Prancis saat ini memiliki 34 ribu tentara yang dikerahkan di Prancis dan luar negeri. Hollande bahkan tidak akan melakukan pemotongan anggaran pertahanan sebelum 2019.
ISIS mengaku bertanggung jawab atas aksi kekerasan terburuk di Prancis sejak Perang Dunia II di mana 130 orang tewas dalam pemboman dan penembakan. Kelompok militan itu mengaku serangan dilakukan sebagai balasan atas keterlibaan Prancis dalam serangan udara yang didukung AS di Irak dan Suriah.