REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gugatan para petani Kendeng atas keberadaan pabrik semen melawan PT Indocement dikabulkan pada sidang 16 November silam. Kendati demikian, sejumlah pihak masih menyebut perjuangan petani Kendeng belum tuntas. Advokasi, donasi, dan berbagai bantuan lainnya tetap dibutuhkan untuk perjuangan para petani.
"Perjuangan petani Kendeng butuh simpati masyarakat luas, ini bukan hanya persoalan mata pencaharian, tapi soal keseimbangan ekosistem yang terancam di sana," ujar Koordinator aksi #DemiRembang, Nilla A Asrudian usai gelaran diskusi dan penggalangan dana Komunitas Aksi Sosial Epikurian: Unbreakable Coffee, Lenteng Agung, Sabtu (21/11).
Nilla menyebut, di tengah pembangunan yang masif, harus ada orang-orang yang menaruh perhatian dan kepedulian pada upaya pelestarian lingkungan. Menurutnya, merupakan harga mati pembangunan berpihak pada terjaganya sumber-sumber alam seperti air, udara, dan tanah dari kerusakan.
"Apa yang diperjuangkan oleh petani-petani Pati, Rembang, Blora (Pegunungan Kendeng), patut didukung dan diapresiasi," tegasnya.
Aksi penggalangan dana yang dilakukan komunitas Epikurian dilakukan dengan menghimpun bantuan dari para peserta diskusi. Aksi ini merupakan yang kedua setelah sebelumnya penggalangan dana dilakukan untuk korban asap di Kalimantan dan Sumatra, beberapa waktu lalu.
"Bantuan ini untuk para ibu yang telah bertahan di tenda selama 522 hari lamanya, bantuan ini untuk mereka yang masih berjuang mempertahankan hidup dan kehormatannya," ujar owner Epikurian, Jaka Suryana.
Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi, Muhnur menyebut pendirian sejumlah pabrik semen merupakan bukti sifat abai pemerintah. Menurutnya, pemerintah daerah masih menafikan fungsi karst di Pegunungan Kendeng. Padahal, kata dia, Kendeng merupakan daerah CAT (Cekungan Air Tanah) yang bermanfaat besar untuk lebih 600 ribu jiwa di 14 kecamatan di kabupaten rembang.
"Dalam konteks bencana, hilangnya fungsi resapan menyebabkan hilangnya jeda waktu air tersimpan sehingga pada saat musim hujan, air yang seharusnya terserap ke dalam tanah akan berubah menjadi air permukaan," ujarnya.
Menurutnya, gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memiliki kewenangan yang cukup tinggi dalam kasus ini. Apalagi, kata dia, berdasarkan UU No 23 tahun 2014 yaitu izin (amdal), bisa dibatalkan oleh gubernur. Gubernur, kata dia, bisa merevisi atau mengaudit. Namun Walhi menilai Ganjar Pranowo tidak rela mencabut izin yang diterbitkannya sendiri tahun 2012.
“Gubernur tidak punya perspektif lingkungan, dia tidak sedang membela rakyatnya yang bermaksud melindungi dan melestarikan lingkungannya,” kata Muhnur menegaskan.