REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjadi salah satu piloting Desa Ramah Perempuan (DRP) memberikan kebanggaan tersendiri kepada Yondri Fammani, Kepala Desa Wolwal, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). "Ini suatu kebanggan buat kami. Konsorsium dan Kopel sudah membawa perubahan di desa kami," kata Yondri di acara diskusi nasional 'Menuju Satu Digit' yang berlangsung di Jakarta, Senin (24/11).
Di Kabupaten Alir, selain Desa Wolwal, ada Desa Alor Besar yang juga menjadi piloting DRP yang digagas oleh Konsorsium PT Global Concern dan Komite Pemantau Legislatif (Kopel) atau disingkat KGCK. Ada enam desa seluruhnya yang menjadi piloting program ini. Desa lainnya adalah Desa Borokanda dan Rando Tonda di Kabupaten Ende, serta Desa Pon Ruan dan Desa Golo Ndele di Kabupaten Manggarai Timur. (Baca Juga: Enam Desa di NTT Digadang Jadi Desa Ramah Perempuan).
Lantas apa saja yang telah dilakukan warga Desa Wolwal sehingga dibidik menjadi DRS di NTT? Yondri menjelaskan, saat ini sejumlah proses dan fakta menunjukkan perempuan di desanya ada peningkatan pemberdayaan. Dia menyontohkan, dahulu setiap kuputusan dalam keluarga, peran suami sangat dominan. "Sekarang mama-mama di sana sudah bisa ambil keputusan sendiri, mereka lebih mandiri terutama dari segi ekonomi," ujar Yondri.
Sejumlah peraturan desa pun mulai diterbitkan. Di antaranya anak-anak harus sekolah mulai tingkat pendidikan terendah dan kalau perlu sampai ke perguruan tinggi. Yondri mengatakan, fasilitas pendidikan mulai PAUD sampai SMA sudah ada di desanya. Meskipun untuk jenjang pendidikan lanjutan seperti SMP dan SMA, semuanya dibangun atas swadaya masyarakat ditambah sedikit bantuan dari desa. Bahkan, ibu-ibu di desa tersebut mengadakan semacam arisan untuk mengumpulkan dana pendidikan bagi masa depan anak mereka.
Menurut Yonri, saat ini kehadiran sekolah itu masih kurang efektif karena kondisinya yang sangat minim fasilitas. Namun sekolah tersebut paling tidak telah mampu membuat anak-anak yang putus sekolah, kembali lagi masuk sekolah. Selain itu, anak-anak Wolwal saat ini sudah tidak perlu lagi menempuh belasan kilometer untuk sekolah ke desa sebelah. "Anak muda di desa kami yang mabok-mabokan di jalanan itu karena mereka tidak berpendidikan," ucapnya.(Baca Juga: Warga Desa Wolwal Bangun SMP Negeri Secara Swadaya).
Yonri menambahkan, sejak dana desa yang jumlahnya 200 juta lebih cair pada awal Agustus 2015 lalu, pemerintah desa akhirnya bersepakat mengalokasikan dana tersebut untuk membangun akses jalan ke sekolah. Karena sebelumnya kendaraan sulit untuk menuju ke lokasi sekolah tersebut.
Di bidang kesehatan, salah satu peraturan desa yang ditegakkan adalah semua bidan dan dukun kampung dijadikan mitra. "Dukun kampung tidak bisa membantu kelahiran anak. Harus dibawa ke puskesmas. Kalau lahir di Puskesmas, surat-surat kelahiran diurus. Tapi kalau lahir di rumah, tidak ada surat-surat. Saya tidak mau tandatangan," katanya.