REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Aliansi Rakyat Sulawesi Selatan Bersatu menggugat Mukhtar Tompo sebagai calon pengganti antarwaktu (PAW) dari Dewie Yasin Limpo, Legislator DPR-RI yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kami yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Sulsel Bersatu akan berusaha menyelamatkan lembaga wakil rakyat ini dari praktek-praktek pelanggar hukum," kata Ketua Aliansi Rakyat Sulsel Bersatu Andi Jamaluddin Kamaruddin di Makassar, Selasa (25/11).
Dia mengatakan, alasan keberatan dari sejumlah lembaga pemuda di Makassar karena Mukhtar Tompo yang menjadi peraih suara terbanyak kedua setelah Dewie Yasin Limpo ditengarai mempunyai banyak permasalahan.
Betel, sapaan akrab Andi Jamaluddin itu menyebutkan dua masalah yang tengah dihadapinya yakni permasalahan hukum dengan menganiaya seorang polisi saat menjabat sebagai anggota DPRD Sulsel pada Agustus 2013.
Saat itu, Mukhtar Tompo dilaporkan melakukan tindakan penganiayaan terhadap anggota Direktorat Sabhara Polda Sulselbar Briptu Franky Aris (25). Akibatnya, bintara Polri tersebut mengalami luka lebam di bagian perut, serta di sekitar leher dan wajahnya.
Kasus ini dilaporkan Briptu Franky di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SKPT) Mapolda, Jalan Perintis Kemerdekaan. Insiden penganiayaan tersebut, berlangsung di jalur tol Jalan Prof Dr Ir Sutami sekitar pukul 12.00 WITA. Saat itu, Briptu Franky dan Mukhtar Tompo sama-sama mengemudikan mobil dari arah pintu tol Mandai.
Namun di tengah perjalanan, Franky yang mengemudi Honda Jazz warna hitam mengaku kaget setelah disalip di bagian kiri oleh mobil Toyota Innova berwarna putih. "Kasus ini dilaporkan di Mapolda Sulselbar tahun 2013 lalu dan ada laporan polisinya. Nomor laporannya itu, LP/394 VIII/2013/SPKT tertanggal 16 Agustus 2013," katanya.
Selain itu, gabungan LSM ini juga menggugat ijazah Strata Satu (S1) dari Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Hanura tersebut. Mereka menilai jika ijazah S1 yang digunakannya itu diduga palsu karena berdasarkan hasil pencarian data di website Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dikti) nomor stambuk dan nama sama dengan ijazah, namun berbeda di tanggal lahir.