REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa kasus dugaan suap hakim PTUN Medan, Otto Cornelis (OC) Kaligis membacakan nota pembelaan atau pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Dalam pledoinya, OC Kaligis menilai saat ini proses pengadilannya berada di bawah tekanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurutnya majelis hakim tidak bisa memutuskan di luar yang dikehendaki KPK. Dalam sidang tersebut, OC Kaligis membacakan pledoi sebanyak 58 halaman selama dua jam.
Pledoi tersebut menanggapi tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Kaligis divonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan dalam perkara tersebut.
"Apakah masih ada manfaatnya saya menulis pembelaan dalam satu pengadilan yang tidak adil di atas prinsip-prinsip peradilan di bawah rezim KPK," kata OC Kaligis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (25/11).
Dalam pledoi yang dibacakan oleh OC Kaligis, ia menilai bila KPK layaknya sebuah rezim yang memosisikan diri sebagai malaikat. "KPK dinilai bebas dari kesalahan dan kekeliruan," ujarnya.
Ia mengakui dalam pledoi yang ia buat, OC Kaligis dituntun kepada spiritualitas pribadi, yakni spiritualitas kepada Tuhan. Ia pun berharap agar majelis hakim berpegang teguh pada spiritualitas Tuhan dalam menilai perkaranya.
"Bukan keadilan berdasarkan keinginan KPK atau opini publik yang bisa dibentuk oleh manusia-manusia berbulu domba, tapi berhati serigala," katanya lagi.
OC Kaligis juga menilai bila jaksa penuntut umum KPK yang dipimpin oleh Yudi Kristiana telah melakukan rekayasa. Sehingga, lanjut OC Kaligis, terlihat sebagai fakta hukum dan kebenaran.
"KPK rela mengorbankan kebenaran hanya demi kemenangan, termasuk dalam proses saya sebagai tersangka dengan melakukan pemblokiran rekening-rekening yang tidak ada hubungannya dengan perkara," ujar OC Kaligis.
Ia melanjutkan, KPK dengan para penyidik dan JPU terlalu bersemangat dan bermental menang dengan cara apapun.
"Termasuk melanggar KUHAP sekalipun, demi untuk mencapai target, demi pencitraan positif di mata masyarakat, demi karir tanpa peduli prinsip-prinsip hukum," jelasnya.
Kaligis menambahkan, dalam prinsip KUHAP bahwa seharusnya ia yang bukan penyelenggara negara dituntut separuh dari tuntutan untuk penyelenggara negara yakni hakim PTUN Medan, Tripeni Putro. Dalam kasus ini, Tripeni dituntut empat tahun penjara.
"Saya dituntut 10 tahun, dalam paket yang sama dengan Tripeni Irianto Putro dan panitera Syamsir Yusfan. Menurut KUHP dan yurisprudensi mestinya saya dituntut 50 persen dari mereka," ujarnya.
Menurut OC Kaligis vonis bersalah selama sepuluh tahun penjara sama dengan hukuman mati. Ia beralasan, dirinya telah lanjut usia.
"Semoga hakim yang mulia masih mau melihat saya sebagai manusia yang masih berguna bagi perjuangan hukum di Indonesia," ucapnya.