REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN -- Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, mengatakan Pemkot Tangerang Selatan (Tangsel) mestinya berani mempublikasikan penerima dana hibah. Publikasi data hibah dianggap penting demi transparansi kepada publik di Tangerang Selatan.
"Publikasi dana hibah maupun dana bantuan sosial (bansos) berhak diketahui masyarakat. Kalau memang bukan untuk korupsi sah-sah saja dipublikasikan," jelas Ade kepada awak media usia diskusi Korupsi adalah Kejahatan Luar Biasa di Serpong, Jumat (27/11).
Publikasi, lanjut dia, bisa dilakukan di laman resmi pemkot maupun media massa lokal. Tujuannya agar masyarakat bisa mengetahui dengan jelas aliran dana hibah dan bansos. "Sebab, ada indikasi penyelewengan dana APBD dan APBDP untuk bansos dan hibah. Polanya sama dengan beberapa daerah lain yang juga menggelar Pilkada," ungkap Ade.
Pola yang dimaksud Ade adalah besaran kenaikan dana hibah yang naik drastis dan lembaga penerima dana hibah tidak jelas. Padahal, tuturnya, ada aturan jelas dari Kementerian Dalam Negeri (Permendagri) yang membatasi lembaga penerima dana hibah.
Batasan yang dimaksud adalah lembaga penerima setidaknya sudah tiga tahun berdiri, lembaga sudah memiliki badan hukum dan ada alamat jelas dari lembaga tersebut.
Sebelumnya, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menduga adanya 106 lembaga yang telah menerima kucuran dana tidak wajar melalui anggaran dana hibah APBD 2015 Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Sekitar 11 dari 106 lembaga tersebut diketahui tidak memiliki badan hukum.
Untuk diketahui, kenaikan dana hibah Pemkot Tangsel sempat menjadi sorotan beberapa waktu lalu. Semula, besaran dana hibah Rp 29,568. Dalam APDBP 2015, dana hibah Pemkot Tangsel naik hingga Rp 105,264 atau sebesar 256 persen. Adapun besaran APBD 2015 Kota Tangsel Rp 2,8 triliun. APBDP Kota Tangsel 2015 sebesar Rp 3,3 triliun.