REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pakar hukum adat Universitas Udayana, Bali, Prof Dr Wayan P Windia, menyatakan, perkawinan sejenis tidak dikenal dalam hukum adat di Bali. Karenanya, perkawinan seperti itu menurut dia bertentangan dengan hukum adat ajaran agama Hindu.
"Dalam adat Bali perkawinan adalah dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, sehingga istilah nganten/gerorod," katanya, pada seminar nasional bertema Perkawinan Sejenis dalam Pandangan Agama di Indonesia" diselenggarakan Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama, di Sanur, Bali, Senin (30/12).
Ia mengatakan, pengertian perkawinan dalam adat Bali adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar saling mencintai disertai saksi dan upacara sesuai Agama Hindu.
"Persepektif hukum adat Bali adalah secara biologis untuk memenuhi kebutuhan seksual dan melahirkan anak. Secara sosial adalah memiliki keturunan untuk mengurus dan meneruskan warisan orang tua maupun leluhur dan secara filosofis yakni untuk membebaskan dosa orang tua dan leluhur," ujarnya.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali, HM Taufik Asadi, mengatakan, perkawinan sejenis dalam ajaran agama Islam adalah dilarang. Karena bertentangan dengan ajaran agama, dimana seorang laki-laki harus kawin dengan seorang perempuan.
"Jadi perkawinan sejenis (laki dengan laki, perempuan dengan perempuan) adalah bertentangan dengan ajaran agama," ujarnya.
Ia mengatakan semua ajaran agama yang menyakut perkawinan atau nikah, akan melarang kawin dengan sejenis. sebab ajaran agama tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan, bukan semata-mata dengan memuaskan seksualitas.
Sementara Ketua Wadah Antar-Lembaga Umat Buddha Indonesia (Walubi) Bali, Pendeta Wira Dhammo, mengatakan dalam ajaran Buddha tidak mengenal juga kawin sejenis.
"Yang disahkan dalam ajaran Buddha tersebut seseorang nikah antara laki-laki dengan perempuan. Karena itu jika ada mengaku kawin sejenis maka itu dianggap tidak sah," katanya.