REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Budayawan Ahmad Thohari menilai, bahasa Banyumasan yang khas dengan kata inyong terancam punah. Kepunahan mengancam bahasa Banyumasan seiring gerusan modernisasi, termasuk atas pengaruh bahasa Jawa.
"Jadi, dari Kementerian Agama ada upaya menerjemahkan Alquran ke bahasa Banyumasan. Ini seiring dengan upaya melestarikan sejumlah bahasa daerah yang terancam punah," kata Thohari usai menghadiri Peluncuran Alquran Terjemahan Bahasa Daerah dan Kamus Istilah Keagamaan di Jakarta, Kamis (3/12).
Menurut dia, Banyumasan sejatinya sudah mulai mengalami ancaman kepunahan sejak otoritas Kerajaan Mataram di Jawa melakukan politisasi bahasa. "Bahasa Banyumasan itu bahasa yang lebih tua ketimbang bahasa Jawa yang sekarang banyak dipakai. Bahasa Banyumasan telah ada sejak abad ketujuh. Pada abad ke-16, mulai dipolitisasi Kerajaan Mataram dengan mengubah bahasa Kuna yang sifatnya lebih egaliter," kata penulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ini.
Bahasa Jawa yang ada sekarang ini, kata dia, merupakan buah dari politisasi Mataram di masa lampau. Dalam "bahasa kraton" ini sengaja disematkan nilai-nilai etika, sehingga bahasa Jawa memiliki tingkatan-tingakatan yang dikenal dengan istilah ngoko, kromo madyo, dan kromo alus
Sementara, Banyumasan, lanjut dia, tidak memiliki strata bahasa, seperti Bahasa Jawa, sehingga sejatinya "bahasa inyong" lebih memiliki jiwa egaliter (kesetaraan) dan demokrasi. Menurut dia, banyak yang tidak tahu Banyumasan atau "Jawa Kuna" sebetulnya adalah bahasa asli masyarakat Jawa sebelum munculnya pengaruh Kerajaan Mataram.
Atas dasar itu, Thohari mengapresiasi upaya Kemenag yang menerbitkan terjemahan Alquran dalam bahasa Banyumasan. "Bahasa itu terkait suku. Konservasi pelestarian suku itu perlu, seperti yang ada di surah al-Hujarat. Keberagaman itu harus tetap ada, sehingga dengan begitu ayat suci tidak akan kehilangan eksistensinya," katanya.