REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini proses pemeriksaan kasus dugaan pencatutan nama oleh Ketua DPR Setya Novanto masih berlangsung. Jika menyimak pemeriksaan Menteri ESDM Sudirman Said dan Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Syamsudin di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), skandal negosiasi Freeport yang melibatkan Novanto dinilai jelas menunjukkan adanya persekongkolan jahat yang mengarah pada gratifikasi.
"Novanto memperdagangkan pengaruh sambil menyelipkan kepentingan pribadi," ujar Ketua Setara Institute Hendardi, Kamis (3/12).
Dia mengatakan KPK tidak perlu terlalu lama bertindak. MKD harus memagari diri dari berbagai intervensi sehingga bisa membuka seluruh kebenaran peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Menurut dia, Partai Golkar tempat Novanto berlindung akan ditinggalkan rakyat jika terus menerus mempersulit kerja MKD.
Demikian juga pimpinan DPR yang potensial menghalangi keberhasilan kerja MKD harus terus diingatkan. Jika mereka melangkah ke jalan yang salah dengan melindungi Novanto, maka publik akan mencatat dan mengingatnya sebagai politisi dan partai yang tidak mendukung DPR bersih.
Jaksa Agung yang terlalu bersemangat dengan kasus ini juga mesti dipastikan bebas kepentingan. "Jangan sampai Jaksa Agung hanya menumpang populer dan seolah-olah bekerja dengan mengambil peran pada pengusutan kasus Novanto," ujar Hendardi.
Padahal realitanya, dalam berbagai kasus lain termasuk pelanggaran berat HAM yang menjadi kewajiban utama Kejagung menumpuk tidak terselesaikan. Sejarah menunjukkan dari beberapa kepemimpinan Jaksa Agung setidaknya sejak kasus BLBI,kejaksaan menjadi institusi yang berperan besar menjadi 'bunker' bagi Novanto.