REPUBLIKA.CO.ID, AKROTIRI -- Inggris menjatuhkan bom pertama menargetkan ISIS setelah mendapat persetujuan dari parlemen, Kamis (3/12). Serangan tersebut menghantam ladang minyak yang disebut-sebut sebagai sumber pendanaan serangan ISIS di barat.
Pengebom Tornado tinggal landas dari pangkalan udara RAF Akrotiri di Cyprus beberapa jam setelah parlemen meloloskan izin. Cyprus terletak 100 km dari Suriah yang merupakan negara anggota Uni Eropa terdekat dengan Timur Tengah.
Pemungutan suara berakhir dengan jumlah 397-223 untuk mendukung rencana Perdana Menteri Inggris, David Cameron dalam memperpanjang serangan udara di Suriah. Partai oposisi, partai buruh terpecah dalam pemungutan suara tersebut.
Cameron didukung puluhan anggota parlemen dari Partai Buruh. Meski Pemimpinnya, Jeremy Corbyn tidak setuju dengan intervensi militer. Sementara juru bicara urusan luar negeri partai Hilary Benn mendukungnya.
"Kita harus melawan kejahatan ini. Ini waktu bagi kita untuk berperan di Suriah," kata Benn dalam pidatonya di parlemen yang disambut tepuk tangan riuh di Dewan Perwakilan.
Pesawat pengebom kembali ke pangkalan dalam beberapa jam. Empat pesawat menggunakan bom dipandu laser untuk menghantam enam target di ladang minyak Omar, di timur Suriah. Wilayah tersebut dikendalikan ISIS dan belum ada laporan kerusakan atau korban.
Menteri Pertahanan Inggris, Michael Fallon mengatakan pada BBC bahwa serangan tersebut adalah awalan. "Akan ada lebih banyak target di timur dan utara Suriah yang akan kami serang, semoga dalam beberapa hari dan pekan ke depan," kata Fallon.
Menurutnya, Inggris telah mengirim delapan pesawat tempur lagi ke Cyprus untuk bergabung dengan misi. Kontribusi Inggris ini masih sebagian kecil dari operasi Operation Inherent Resolve pimpinan AS di Suriah dan Irak.
Meski demikian, ini berdampak signifikan dalam hal politik dan diplomatik sejak serangan di Paris. Seiring keputusan untuk bergabung dengan Prancis dalam memperluas aksi militer. Setelah 15 tahun, ribuan pasukan Inggris tewas dalam medan perang ketika bersekutu dengan AS di Irak dan Afganistan. Hal ini membuat Inggris lebih waspada pada perang di Timur Tengah.