REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Freeport McMoran dinilai telah melakukan aneka cara untuk memastikan masa depan operasinya di Papua. Komunikasi melalui surat antara pemilik Freeport McMoran James Moffett dan Menteri ESDM Sudirman Said tertanggal 7 Oktober 2015 mengindikasikan hal tersebut.
Diketahui, area pengerukan yang kini sedang digarap PT Freeport Indonesia (PTFI) sudah mulai minim. Untuk itu, PTFI perlu mengeruk lebih dalam lagi untuk mendapatkan sumber lapisan bumi yang menyimpan kandungan emas lebih banyak di Papua.
Kontrak karya akan usai pada 2021 mendatang, namun PTFI sudah menyiapkan dana hingga 12 miliar dolar AS guna melakukan pengerukan lebih jauh ke dalam perut bumi Papua. Itulah yang menjadi "pertaruhan" bagi Freeport karena sesudah era kontrak karya ini, yang ada hanyalah perpanjangan izin usaha pertambangan, bukan lagi renegosiasi kontrak dengan pemerintah Indonesia.
Menurut Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, pemerintah pusat dan daerah (Papua) mesti satu suara dalam menyikapi perpanjangan izin PTFI nantinya. Pada prinsipnya, lanjut Marwan, Indonesia harus memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia dari aktivitas pertambangan korporasi tambang emas terbesar di dunia ini.
(baca: Pemerintah Dinilai tak Perlu Takut Gertak Freeport)
"Daerah jangan jalan sendiri, (misalnya dengan mengatakan) kalau pusat nggak mau, kami siap. Nanti bisa-bisa datangkan investor asing dari Cina," ujar Marwan Batubara dalam acara diskusi di Cikini, Jakarta, Sabtu (5/12).
Marwan lantas menyarankan pembentukan konsorsium yang bertujuan agar saham mayoritas PTFI dapat dikuasai pemerintah Indonesia. Dominasi Indonesia dalam saham PTFI pun dapat menjadi salah satu persyaratan yang diajukan pemerintah Indonesia kepada Freeport McMoran bila korporasi tersebut mau melanjutkan operasinya di Indonesia seusai 2021.
"Bentuk konsorsium oleh pemerintah. Sertakan BUMN dan BUMD," kata dia.