REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai perlu adanya pengusutan secara tuntas terhadap pejabat yang meloloskan kontrak karya (KK) PT Freeport Indonesia (PTFI) di masa lalu. Ia menilai bahwa penandatanganan KK pada 1967 dan 1991, sarat akan praktik korupsi. Sehingga, dengan adanya polemik Freeport saat ini, ada baiknya penegak hukum menengok ke belakang dan mengusut KK sebelumnya.
"Lalu terjadi perpanjangan 91-94, sama juga. Bahkan yang melakukan KKN di periode kedua itu, sampai sekarang itu masih hidup. Ini saya kira perlu menjadi objek juga untuk dituntut, untuk diseret,” ucap Marwan dalam diskusi di Cikini, Jakarta, Sabtu (5/12).
Meski begitu, Marwan mendukung upaya untuk memberantas pemburu rente yang saat ini masih berkeliaran, baik di dalam maupun di luar pemerintahan.
“Bahwa masih ada oknum yang melanjutkan tradiri masa lalu, untuk mendapatkan rente, itu memang harus diputus,” kata Marwan.
Marwan menambahkan, perilaku KKN yang dahulu menggerogoti kegiatan ekonomi bangsa masih berlanjut sampai saat ini. Hal ini terbukti dengan terbongkarnya skandal rekaman pertemuan Bos Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dengan Ketua DPR Setya Novanto yang didampingi seorang pengusaha yang namanya kerap masuk pemberitaan terkait mafia migas, M Riza Chalid.
Kontrak karya kedua Freeport pada 1991 menyetujui PTFI bisa beroperasi di Indonesia selama 30 tahun, dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun. Mengacu kontrak yang ditandatangani antara pemerintah Indonesia dan pihak PTFI, maka perusahaan tambang berbasis Amerika Serikat itu bisa mengeruk bumi Papua hingga 2041.
Penandatangan KK kedua Freeport dilakukan oleh Menteri Pertambangan dan Energi kala itu Ginandjar Kartasasmita dan Presiden Direktur PTFI waktu itu Hoediatmo Hoed.
(Baca juga: Freeport Diminta Ganti Rugi Kerusakan Lingkungan 5 Miliar Dolar AS)