REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemboman yang terjadi di Bali oleh kelompok ekstremis pada 2004 masih menyisakan ketegangan antara umat Hindu yang menjadi mayoritas agama di sana dengan Muslim. Salah satu contoh ketegangan tersebut yakni adanya pelarangan pembangunan masjid di Kuta.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memang telah memediasi proses pembangunan masjid tersebut namun hingga kini masih berjalan alot.
“Tampaknya masih ada kelompok-kelompok yang tidak dapat menerima sepenuhnya kehadiran Muslim di sana,” kata Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Imdadun Rahmat kepada Republika.co.id, Rabu (9/12).
Imdad, sapaan akrabnya, tidak memungkiri masih terdapat intoleransi di sana. Contoh lainnya yakni adanya pengaduan soal pelarangan siswi sekolah menggunakan jilbab. Intoleransi tidak hanya terjadi di Bali, tetapi juga di tempat lain hanya saja tingkatannya berbeda-beda.
Pada Sabtu (5/12) terjadi pencurian kotak amal dan perusakan di Masjid Jami Abdurrahman Bin Auf milik Yayasan Baitul Ummah di Jimbaran, Kuta Selatan, Badung, Bali. Menurut dia, tindakan menyambangi rumah ibadah, melakukan perusakan, apalagi dengan jumlah beramai-ramai tidak bisa disebut kriminalitas biasa. Ini diduga ada kaitannya dengan intoleransi.
“Lain hal kalau misalnya kotak amal dicuri secara diam-diam karena butuh uang, tapi kalau prosesnya diawali melempar batu lalu masuk melakukan perusakan dan mencuri kotak amal itu merupakan ekspresi dari intoleransi,” ujarnya.
Imdad enggan menduga-duga ada motif apa di balik pencurian dan perusakan itu. “Tapi secara akal sehat bisa kita maknai ini ekspresi lemahnya penghargaan dan penghormatan terhadap rumah ibadah orang lain,” kata dia.