REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA — Partisipasi pemilik suara dalam pemilihan wali kota dan wakil wali kota Surabaya masih rendah. Tergambar dari hasil penghitungan cepat yang dilakukan Surabaya Consulting Group (SGC), hanya 53 persen pemilik suara yang menggunakan hak pilih mereka.
Direktur SCG Didik Prasetiyono menyampaikan, rendahnya kehadiran pemilih dalam Pilkada Surabaya disebabkan berbagai hal. Di antaranya, menurut Didik, adalah apatisme politik, yakni ketidakpedulian terhadap proses pemilihan pemimpin karena tidak berhasilnya edukasi politik pada masyarakat.
Kedua, menurut Didik, adalah faktor lemahnya sosialisasi alat peraga kampanye. Didik menggambarkan, baliho dan spanduk terlihat terpasang asal-asalan , serta bila rusak tidak segera diganti.
"Faktor tidak validnya DPT juga jadi penyebab, di mana pemilih ber-KTP Surabaya yang sudah bertahun-tahun tidak tinggal di Surabaya, masih tercatat di DPT. Pekerja migran dan pola hidup urban mendorong hal ini," kata Didik melalui siaran pers tertulis yang diterima Republika, Kamis (10/12).
(Baca juga: KPU: Tunggu Hasil Resmi Pilkada)
Selain itu, Didik menambahkan, ditetapkannya waktu pemilihan sebagai hari libur menjadi dilemma bagi masyarakat. Kesempatan libur pilkada, terang dia, banyak digunakan untuk meluangkan waktu guna istirahat atau santai bersama keluarga, sehingga mendorong tingginya ketidakhadiran di TPS.
Tak hanya itu, menurut Didik, Panwaslu, juga terkesan berlebihan dalam membatasi gerak calon dan tim kampanye dalam hal sosialisasi. Akibatnya, menurut Didik, tim pemenangan dan masyarakat tidak leluasa menyalurkan ekspresi politiknya.
Ke depan, Didik berharap, pembatasan sosialisasi harus juga mengakomodasi kreativitas akar rumput. Hal itu, kata dia, akan membuat pilkada terasa meriah dan dapat meningkatkan kehadiran pemilih.
"Edukasi atau pendidikan politik juga, harus dilakukan sejak usia dini, agar kesadaran bernegara terbangun," ujar dia.