REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Amanat Nasional, Viva Yoga Mauladi menilai inkonsistensi kebijakan menjadi persoalan cukup serius dalam Pilkada serentak, yang untuk pertama kalinya digelar di Indonesia. Padahal, Pilkada memiliki potensi konflik sosial yang tinggi.
''Koordinasi antara pusat, provinsi dan daerah harus satu. Manado adalah contoh buruk karena inkonsistensi kebijakan,'' katanya di Kantor DPP PAN, Jakarta, Kamis (10/12).
Manado adalah salah satu dari lima daerah yang mengalami penundaan pilkada serentak. Penyebabnya, berdasarkan putusan sela PTTUN Makasar no.21/PEN/PILKADA/2015/PTTUN MAKASAR tanggal 8 Desember 2015 menyatakan pasangan Jimmy Rimba Rogi dan Boby Daud memenuhi syarat untuk mengikuti Pilkada Manado.
Sementara, KPU Manado justru mengugurkan Imba-Boby melalui SK TMS (tidak memenuhi syarat) tidak sah secara hukum. Artinya, aturan yang tumpang tindih itulah yang membuat pilkada di berbagai daerah berpotensi konflik.
''Ke depan harus ada aturan yang lebih rinci lagi, untuk menafsirkan UU Pilkada,'' ujarnya.
Selain persoalan Inkonsistensi Kebijakan, Wakil Ketua Komisi IV DPR itu mengungkapkan, beberapa kasus di Pilkada partisipasi pemilih ada yang golput sampai 40 persen, sehingga menjadi preseden yang kurang baik. Sebab, hal itu akan mengurangi legitimasi politik pemimpin yang terpilih.
Oleh karena itu, Parpol harus lebih giat untuk bagaimana membangun tingkat partisipasi pemilih tanpa harus diberi uang. Kalau itu terjadi, tingkat kepemilihan dari pemimpin menjadi semu.
''Kalau kemudian ada proses ke arah politik uang, dari pihak pengawas dan penegak hukum harus bertindak,'' ucap ketua Bapilu PAN itu.