REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana pengajuan sengketa hasil Pilkada serentak mulai bermunculan dari sejumlah pasangan calon meski rekapitulasi suara masih berlangsung. Namun nampaknya, tidak semua hasil Pilkada dapat ditangani oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal ini lantaran dalam undang-undang Pilkada Nomor 8 Tahun 2015 diatur batasan mengenai syarat pengajuan sengketa hasil ke MK, yakni selisih hasil paling banyak dua persen dari jumlah penduduk. Mengacu pada aturan tersebut, maka gugatan yang tidak memenuhi selisih tersebut tidak akan diproses MK.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, MK semestinya tidak membatasi sengketa hanya dengan jumlah presentase. Tetapi menurutnya lebih kepada substansi keadilan dalam Pemilu, jika memang kualitas Pilkada di suatu tempat bermasalah.
“MK itu harus memposisikan sebagai perwujudan untuk perlindungan Pilkada yang demokratis, MK kan bukan mahkamah kalkulator, harus menjamin dalam segala situasi Pilkada,” ungkap Titi saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (13/12).
Sebab, Titi mengungkapkan, tidak sedikit kecurangan dalam Pilkada terjadi dalam proses secara keseluruhan, bukan pada hasilnya.
“Sebab kita antipasi semua pihak terlibat kecurangan, dan MK sebagai benteng terakhir keadilan Pemilu,” ujarnya.